Rabu 24 Apr 2024 16:35 WIB

Sosiolog Soroti Tradisi Pertunangan Anak di Madura

Tradisi Abekalan ialah bagian dari proses pemeliharaan antarkeluarga.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Friska Yolandha
Ilustrasi Pernikahan. Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto menyoroti pertunangan bocah di Madura, yang potongan videonya sempat viral di media sosial.
Foto: Pixabay
Ilustrasi Pernikahan. Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto menyoroti pertunangan bocah di Madura, yang potongan videonya sempat viral di media sosial.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto menyoroti pertunangan bocah di Madura, yang potongan videonya sempat viral di media sosial. Bagong mengatakan, tradisi pertunangan anak memang masih lekat di Madura. Tradisi tersebut dikenal dengan sebutan Abekalan.

"Tradisi Abekalan merupakan bagian dari proses sosialisasi dan pemeliharaan hubungan antar keluarga," kata Bagong, Rabu (24/4/2024).

Baca Juga

Bagong mengatakan, tradisi tersebut bertentangan dengan upaya pemerintah dalam melindungi anak-anak dari dampak negatif perkawinan dini. Salah satunya melalui mengesahkan Undang-Undang Perkawinan terbaru. 

Dimana dalam aturan tersebut tercantum batasan minimal usia menikah adalah 19 tahun. Menurut Bagong, ini merupakan salah satu langkah maju untuk memastikan bahwa anak-anak memiliki kesempatan mengembangkan diri dan melanjutkan pendidikan mereka.

"Saat ini zaman sudah berubah. Anak perempuan terutama memiliki kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri. Kalau bertunangan di usia dini, maka risiko menikah di usia dini menjadi besar. Kesempatan anak melanjutkan sekolah berpotensi terganggu," ujarnya.

Bagong menekankan, kesadaran akan hak anak harus menjadi prioritas. Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya sosialisasi kepada orang tua tentang dampak dari tradisi ini.

"Orang tua memiliki hak atas anaknya untuk mengatur ini. Sebagai orang tua, mereka juga harus paham kewajiban terhadap anak untuk memberikan masa depan yang terbaik. Maka dari itu. perlu dilakukan sosialisasi kepada orang tua mengenai hak anak dan dampak jangka panjang dari perjodohan dini," ucapnya.

Bagong menyarankan agar pemerintah bekerja sama dengan tokoh agama dan kelompok sekunder lainnya untuk mensosialisasikan hak anak. Sebab, kata dia, Indonesia masih sangat kental dengan nilai-nilai agama, dan keterikatan antara anak dan orang tua sangat erat dalam konteks ini.

"Pemerintah harus bijak dalam mengambil pendekatan yang efektif untuk mengubah mindset masyarakat," kata dia.

Bagong menekankan, pemerintah setempat harus meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat melalui sosialisasi. Ia juga menyarankan agar pemerintah lokal di Madura dapat membuat peraturan daerah yang memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar.

"Anak harus mendapatkan pendidikan yang tepat di sekolah dan orang tua harus mengubah sudut pandangnya tentang perjodohan dini. Dengan adanya kesetaraan pola pikir ini, maka pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dapat menjadi lebih efektif," ujarnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement