REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Istri Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, Selvi Ananda, menyerukan pentingnya penghentian praktik pernikahan usia anak di seluruh lapisan masyarakat. Seruan ini bukan sekadar imbauan biasa, melainkan sebuah strategi fundamental untuk memastikan Indonesia dapat mewujudkan Generasi Emas yang unggul pada tahun 2045, sejalan dengan visi besar bangsa.
"Jangan lagi ada pernikahan anak usia dini, karena kita sama-sama ingin generasi muda Indonesia tumbuh menjadi generasi yang sehat dan berpendidikan untuk mencapai Indonesia Emas 2045," ujarnya dalam sosialisasi setop pernikahan anak usia dini di RSUD NTB, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu (11/6/2025).
Selvi mengatakan seluruh pihak harus berkolaborasi dan bekerja sama agar fenomena pernikahan usia anak tidak lagi terjadi di tengah masyarakat. Dia mengajak para siswa yang duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) untuk tidak menikah muda, karena dapat membuat pendidikan terputus.
"Belajar dulu yang baik, setelah ini lanjut sekolah ke SMA, kemudian ke universitas. Semoga cita-cita tercapai bisa mendapatkan pekerjaan yang baik. Ekonomi bisa mapan, setelah itu baru boleh melangkah ke jenjang selanjutnya, ke pernikahan," ujar Selvi.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 2021 sampai 2024, Nusa Tenggara Barat selalu mencatatkan angka perkawinan usia anak paling tinggi secara nasional. Persentase perempuan sebelum usia 18 tahun yang menikah pada 2021 mencapai 16,59 persen, tahun 2022 sebanyak 16,23 persen, dan mencapai puncak tertinggi 17,32 persen pada 2023. Sedangkan tahun 2024 mengalami penurunan sedikit ke angka 14,96 persen.
Pengadilan Tinggi Agama Mataram menyebut dispensasi perkawinan di seluruh wilayah Nusa Tenggara Barat sejak 2021 sampai 2024 terus mengalami penurunan dari 1.116 dispensasi menjadi 710 dispensasi, 723 dispensasi, dan 581 dispensasi. Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram Joko Jumadi memaparkan langkah paling konkret untuk mengeliminasi kasus pernikahan usia anak adalah kolaboratif dan harus terintegrasi dari mulai pencegahan, pengurangan risiko, sampai penanganan.
"Kalau hanya penanganan, seperti menyiapkan ember saat atap kita bocor," kata dia.