Kamis 07 Mar 2024 12:02 WIB

Ingin Berhenti Makan Berlebihan? Bisa Dimulai dari ‘Otak’, Ini Caranya

Katakan kepada diri sendiri bahwa Anda tak akan melakukan kebiasaan berbahaya apapun.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Qommarria Rostanti
Es krim (ilustrasi). Ahli membeberkan tips agar tidak makan berlebihan.
Foto: www.freepik.com
Es krim (ilustrasi). Ahli membeberkan tips agar tidak makan berlebihan.

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli saraf, psikiater, dan peneliti dr Judson Brewer menjelaskan tentang mekanisme otak di balik makan berlebihan. Menurut dia, seseorang tetap harus mematuhi konsep kalori masuk vs kalori keluar (CICO) jika tujuannya adalah menurunkan berat badan.

Baca Juga

Namun sebenarnya yang sulit dilakukan oleh sebagian besar orang adalah proses untuk tetap menjalankan diet dengan pembatasan kalori. Dilansir Men’s Health, Selasa (5/3/2024), dr Brewer menyatakan makan secara emosional atau sekadar terus makan bahkan saat tidak lapar adalah dua faktor terbesar yang menyebabkan penurunan berat badan menjadi begitu sulit.

Dia mengatakan, meskipun menghitung kalori itu sederhana dan efektif, kegagalan untuk tetap berpegang pada kalori yang telah mereka rencanakan sendiri dapat membuat beberapa orang merasa kalah, bahkan menyebabkan mereka menyerah pada pola makannya. Dr Brewet menjelaskan triknya dalam podcast dan juga bukunya, The Hunger Habit. Yaitu, mulai atur ulang otak untuk mengenali kapan kita kenyang, benar-benar lapar, dan membedakan antara makanan yang benar-benar bermanfaat dan yang kita ambil karena kebiasaan "tidak sadar" otak.

“Nenek moyang kita di zaman dahulu tidak memiliki lemari es atau cara mengawetkan makanan,” kata dr Brewer.

“Mereka harus mencari makanan setiap hari dan kemudian mengingat di mana makanan itu berada. Jadi kita memiliki sistem yang sangat sederhana namun efektif yang membantu kita mengingat hal-hal yang disebut ‘penguatan positif dan negatif’," ujarnya. 

Dia meminta untuk membayangkan nenek moyang ketika mencari makan di sabana. Mereka menemukan makanan dan ada tiga proses di sana. 

Pertama, Anda melihat makanan, itulah pemicunya. Kedua, Anda mengonsumsi makanan tersebut jika makanan tersebut berkalori baik. Ketiga, perut Anda mengirimkan sinyal dopamin ke otak dan pada dasarnya mengingat apa yang Anda makan dan di mana menemukannya. 

Dr Brewer mengatakan, konsekuensi dari hal tersebut adalah otak juga mempelajari di mana letak bahaya, memicu perasaan tidak menyenangkan, dan mencari cara untuk menghilangkan perasaan tersebut. Dr Brewer menyebut, meskipun sistem ini bekerja cukup baik pada nenek moyang, hal ini dapat menyebabkan Ands makan berlebihan atau memilih jenis makanan yang salah. 

“Kami memiliki lemari es dan ketersediaan makanan 24/7. Jadi otak kita mulai mengkooptasi mekanisme ini dan sistem kita sedikit tersilang. Katakanlah kita sedih, marah, bosan, kesepian, atau frustrasi, bagi otak kita, perasaan itu seperti harimau,” ujar dr Brewer. 

“Dia mengatakan ‘Oh ini buruk, hilangkan saja’ dan jika kita kebetulan makan makanan seperti cokelat, es krim, atau kue, otak kita berkata ‘Oh, ini enak’, dan kita terkena serangan dopamin. Menghubungkan otak kita untuk memberi sinyal bahwa setiap kali kita sedih, marah, bosan, atau kesepian, kita harus makan. Itu sebabnya disebut makanan yang menenangkan dan makan stres,” katanya. 

Solusi yang ditawarkan dr Brewer adalah Anda bisa mencoba mengatakan pada diri sendiri untuk tidak melakukan kebiasaan tidak sehat apa pun, yang mungkin berhasil untuk sementara waktu, namun kemudian cenderung tidak berhasil. “Ketika kita melihat persamaan-persamaan perubahan perilaku, hal itu tidak ada hubungannya dengan kemauan, tetapi semuanya berkaitan dengan kesadaran,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement