REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Pengawasan Obat dan NAPZA BPOM RI Rita Endang mengatakan pada tahun 2050 diprediksi 10 juta kematian orang dapat terjadi setiap tahun akibat antimicrobial resistance (resistensi antimikroba) atau AMR.
"Resistensi antimikroba adalah kejadian ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit, berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespon terhadap obat-obatan," kata Rita Endang, dalam keterangan saat menjadi pembicara utama dalam sosialisasi pemberdayaan masyarakat mengenai resistensi antimikroba di Pekanbaru, Senin (5/2/2024).
Hal itu, lanjutnya, mengakibatkan infeksi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, memperparah, dan menyebabkan kematian. Selain itu jika tidak dikendalikan, kata dia, AMR dapat mengurangi pendapatan negara sebesar 3,4 triliun dolar AS setiap tahun dan mendorong 24 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem pada dekade berikutnya. Menurutnya, dampak AMR juga terjadi di pertanian, peternakan, pangan, lingkungan.
"Karena itu perlu melibatkan UPT BPOM di seluruh Indonesia dalam berbagai upaya masif dan berkesinambungan untuk menanggulanginya," kata Rita.
Berdasarkan hasil pemeriksaan sarana pelayanan Kefarmasian (2021–2023), pada 2023 apotek yang melakukan penyerahan antibiotika tanpa resep dokter tercatat 70,49 persen, turun dibanding tahun 2021 dan 2022.
"Jenis antibiotika yang paling banyak diserahkan tanpa resep dokter adalah Amoksisilin, Cefadroksil, dan Cefixime," katanya.
Rita mengatakan, tenaga kesehatan memiliki peran sama penting dalam upaya pengendalian AMR, demikian pula dengan masyarakat.
Sementara itu, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Riau (Unri) Dewi Anggraini mengatakan, resistensi antimikroba berpotensi terjadi saat konsumsi obat antibiotik yang tidak tepat penggunaan oleh pasien, kendati sudah menggunakan resep dokter atau tanpa resep dokter seperti banyak terjadi di Riau. Dia mengakui pernah ditolak saat membeli obat antibiotik di Yogyakarta tanpa resep dokter.
"Akan tetapi setelah saya jelaskan dan membuktikan bahwa saya adalah dokter, maka mereka baru sedia menjual obat antibiotik itu tanpa resep dokter," katanya.
Dewi yang melakukan studi kasus pada RSUD Arifin Ahmad Riau dan RS Eka Hospital Pekanbaru mengungkapkan bahwa muncul hambatan dan kendala dalam upaya pengendalian resistensi antimikroba itu.
"Sebab masih terjadi banyak ragam pemahaman penggunaan antibiotik di kalangan dokter, Tim Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) belum memiliki tenaga purna waktu, dan masih ada ada dokter yang belum mau mengikuti pedoman penggunaan antibiotik, belum memeriksa kultur sebelum pemberian antibiotik, belum menjadikan penggunaan antibiotik sebagai budaya penghargaan atau resiko," katanya.
Karena itu, menurutnya, perlu sosialisasi secara berkesinambungan dan perlunya memperbaharui panduan penggunaan antibiotika dan antibiotika profilaksis secara berkala.