Rabu 22 Nov 2023 00:35 WIB

Temui 10 Pakar Kesehatan Mental, Ratu Agi Luncurkan Buku Psikosomatis 

Sayangnya, banyak di antara mereka yang merasa tertekan, namun tidak mau bercerita.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Peluncuran Buku yang ditulis Ratu Agi, dengan judul
Foto: dok. Republika
Peluncuran Buku yang ditulis Ratu Agi, dengan judul

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Tekanan hidup di era sekarang ini sudah menjadi santapan sehari-hari bagi masyarakat terutama yang tinggal di perkotaan. Gejolak tersebut datang dari berbagai aspek seperti lingkungan pekerjaan, sosial, keluarga maupun percintaan. 

Tapi sayangnya, banyak di antara mereka yang merasa tertekan namun tidak mau bercerita. Sehingga, harus menelan sendiri cobaan hidupnya itu. Bahkan, bukan tidak mungkin semua yang merasa tertekan itu tidak tahu cara menyelesaikan  persoalannya tersebut.

Persoalan inilah yang ingin diangkat oleh Ratu Agi, penulis buku "Psikotomatis. Catatan Belajar Merangkul Diri menjadi Sadar dan Berpendar". Dalam buku pertamanya ini, ibu yang juga aktif di perbankan ini menceritakan tentang pentingnya menjaga kesehatan mental terutama yang berasal dari diri sendiri.

Dalam buku novel non fiksi ini, Agi menceritakan, sejumlah gangguan mental dalam hidupnya baik yang diterimanya dari lingkungan keluarga hingga percintaannya.

"Buku ini menceritakan tentang pentingnya menjaga kesehatan mental yang bisa dilakukan oleh diri sendiri," ucap Agi saat merilis buku pertamanya tersebut, di kawasan Jalan Bungur, Kota Bandung, Jawa Barat, akhir pekan lalu.

Agi menilai, persoalan kesehatan mental akan berdampak terhadap kesehatan fisik jika tidak ditangani dengan baik. Dalam buku yang diterbitkan oleh Cantrik Pustaka tersebut, Agi menuliskan pengalaman dirinya ketika menghadapi berbagai persoalan mental.

"Saat kecil, aku merindukan sosok ayah. Secara fisik, ayahku ada. Tapi ketika di rumah, enggak ngobrol, enggak ngajak main," kata Agi.

Hal ini, kata dia, menjadi salah satu penyebab dirinya memiliki ketergantungan yang kuat terhadap orang lain. Salah satunya terhadap kekasihnya dulu yang kini telah menjadi suaminya. 

"Dulu saat putus dengan mantan, yang sekarang menjadi suami, aku tuh merasa depresi banget, sampai-sampai sakit dan harus dirawat. Orang lain kok kayaknya putus cinta tuh biasa saja," katanya.

Tak hanya itu, berbagai gangguan mental pun terus dirasakan Agi. Sehingga dirinya memutuskan untuk menemui berbagai pakar kesehatan mental serta mengikuti sejumlah pelatihan dari para profesional.

"Saat itu aku menemui sejumlah pakar holistik. Akhirnya tahu bahwa untuk menyelesaikan persoalan itu enggak perlu menemui orangnya. Cukup dari diri kita sendiri," katanya. 

Buku yang ditulisnya inipun merupakan rangkuman dari perjalanannya setelah menemui lebih dari 10 pakar kesehatan mental. "Aku jadi lebih mengetahui tentang kesehatan mental setelah menemui lebih dari 10 pakar self healing. Selama empat tahun, dengan cara yang berbeda-beda," katanya. 

Sebagai contoh, kata Agi, pentingnya mengekspresikan diri ketika berhadapan dengan persoalan mental. Bahkan, hal ini sangat penting untuk kembali menetralkan diri agar mampu lepas dari gangguan mental tersebut.

"Pentingnya menyelamatkan diri sendiri. Kalau mau nangis, nangislah. Kalau mau marah, marahlah. Tapi harus diungkapkan secara konstruktif," katanya.

Agi menilai, pentingnya mengekspresikan diri tersebut ke dalam media yang tepat. "Kalau mau marah, marahlah, ucapkan kata-kata kotor, tapi lewat tulisan di kertas. Setelah itu akan netral. Memang akan tetap ingat, tapi perasaan aku jadi lebih baik," katanya. 

Melalui 'self healing' inipun Agi berhasil mengeluarkan berbagai trauma yang pernah dialaminya. Caranya justru dengan mengingat-ingat kembali persoalan hidup yang dirasakannya itu.

"Lewat self healing ini aku mengeluarkan trauma yang ada, supaya lebih hidup dan banyak cinta. Enggak banyak dendam, enggak marah-marah," katanya seraya menyebut bukunya ini ingin mengajak pembaca agar menjadikan lingkungan yang ada sebagai sistem yang baik untuk menjaga kesehatan mental. 

Peluncuran buku ini dilabeli pertemuan intim sehingga hanya dibatasi untuk tiga puluh peserta. Bersama Syarif Maulana (editor buku) dan Yesaya Awuy (moderator diskusi), Ratu Agi pun memaparkan alasannya menulis buku tersebut meski di tengah-tengah kesibukannya di dunia perbankan.

"Sejak 20 tahun lalu memang saya sudah senang menulis, tetapi cita-cita tersebut terkubur sampai akhirnya saya mengikuti pelatihan menulis buku dan semangat tersebut timbul lagi," kata Ratu Agi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement