Senin 17 Jul 2023 13:34 WIB

Marak Kasus Mutilasi, Psikolog: Ada Kemungkinan Meniru

Inisiatif meniru pelaku mutilasi karena mudah mengakses media sosial.

Rep: Silvy Dian Setiawan / Red: Friska Yolandha
Polres Klaten ungkap kasus pembunuhan disertai mutilasi, Kamis (22/6/2023). Psikolog menyebut ada kemungkinan pelaku melakukan kejahatan mutilasi karena meniru.
Foto: Republika/Muhammad Noor Alfian c
Polres Klaten ungkap kasus pembunuhan disertai mutilasi, Kamis (22/6/2023). Psikolog menyebut ada kemungkinan pelaku melakukan kejahatan mutilasi karena meniru.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Beberapa bulan terakhir, marak kasus pembunuhan dan mutilasi. Terbaru, ditemukan potongan tubuh manusia di Jembatan Kelor, Bangunkerto, Kapanewon Turi, Kabupaten Sleman, DIY. Psikolog mengungkapkan ada kemungkinan pelaku melakukan aksinya karena ada proses meniru.

Psikolog Universitas 'Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Ratna Yunita Setiyani Subardjo mengatakan, pelaku pembunuhan dan mutilasi yang dikarenakan adanya proses meniru ini bisa saja sudah direncanakan sebelumnya. "Iya (ada kemungkinan meniru), dan itu kalau sudah ada proses meniru atau modelling, berarti kita bisa disimpulkan bahwa ini direncanakan," kata Yunita yang juga Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PCIA Malaysia tersebut kepada Republika.co.id, Senin (17/7/2023).

Baca Juga

Namun, untuk kasus di Turi, hingga saat ini belum diketahui motif pelaku melakukan pembunuhan dan mutilasi. Polda DIY menyebut masih akan melakukan pemeriksaan intensif terkait motif dua pelaku yang sudah diamankan.

"Ada orang yang melakukan sesuatu suddenly saja, tiba-tiba terpikir setelahnya, atau justru dia sudah merencanakan jauh hari. Karena apa? Karena dia ada proses modelling dari orang bahwa saya pernah baca, saya pernah lihat, atau saya pernah nonton film," ucapnya.

Proses meniru ini salah satunya bisa karena mengakses media sosial. Dengan akses internet yang mudah seperti saat ini, berbagai konten tersedia di media sosial, termasuk konten-konten kekerasan hingga pembunuhan.

"Misalnya kalau buka (mengakses) mutilasi, pasti banyak gambar-gambar yang seharusnya tidak boleh ditayangkan, tapi justru ditayangkan," ungkap Yunita.  

Selain itu, Yunita juga menyebut bahwa kasus pembunuhan dan mutilasi dapat terjadi berdasarkan pengalaman individu masing-masing. Salah satunya karena pengalaman di masa kecil yang tidak menyenangkan, sehingga menjadikan seseorang menjadi pelaku pembunuhan dan mutilasi ini.

"Misalnya dia mungkin salah satu korban perundungan, pada akhirnya pada satu waktu dia merasa 'aku tidak bisa membalas dendam', tapi membalas kepada orang yang mirip perilakunya dengan si pelaku bullying itu. Jadi dia seperti membalaskan dendam, tapi akhirnya dibalaskan ke orang lain yang perilakunya, atau wajahnya, atau suaranya, atau sifatnya itu mirip-mirip dengan orang yang pernah menyakiti dia," katanya.

(Polda DIY berhasil menangkap dua pelaku...)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement