REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- European Medicines Agency (EMA) melaporkan pihaknya sedang menyelidiki dua obat populer yang dibuat di Denmark, yakni Ozempic dan Saxenda. EMA menjelaskan langkah itu dilakukan setelah sejumlah pengguna mengalami peningkatan pikiran untuk bunuh diri dan menyakiti diri sendiri.
Menurut beberapa laporan, tiga orang melaporkan gejala di Islandia, yaitu dua karena Ozempic dan satu Saxenda. Laporan itu memicu adanya tinjauan keamanan Uni Eropa.
Kedua obat tersebut adalah agonis glucagon-like peptide 1 (GLP-1), yang memiliki efek ganda untuk mengontrol gula darah dan membantu penurunan berat badan. Ozempic, semaglutide yang dapat disuntikkan, dipasarkan untuk perawatan diabetes tipe 2. Sementara itu, Saxenda, yang mengandung liraglutide, dimaksudkan sebagai obat penurun berat badan.
Pharmacovigilance Risk Assessment Committee di (PRAC) EMA juga akan memeriksa apakah obat GLP-1 lainnya harus diselidiki. Profesor kedokteran di NYU Langone Medical Center di AS, Marc Siegel, beranggapan bahwa hubungan antara kasus dan obat tidak selalu karena sebab-akibat.
"Itu bisa lebih berkaitan dengan orang-orang yang meminta obat ini sejak awal, obesitas mereka atau masalah medis atau psikologis lainnya dapat terjadi pada saat yang sama dan dapat berdiri sendiri," kata Siegel, dilansir Fox News Digital, Kamis (13/7/2023).
Meski demikian, Siegel menyarankan untuk menanggapi kasus tersebut dengan hati-hati. "Obat ini (semaglutide) memang memengaruhi hormon di otak, dan dampaknya pada nutrisi juga dapat memengaruhi fungsi otak," ujar Siegel.
Menurut salah satu pendiri dan kepala petugas medis di Boston, AS, Angela Fitch, peningkatan risiko keinginan bunuh diri yang terkait dengan obat GLP-1 telah diketahui sejak uji klinis. "Risiko ini sangat kecil, tetapi meningkat lebih tinggi dari plasebo," kata Fitch.
Menurut Fitch, data ini tersedia dalam uji coba, di mana ide bunuh diri adalah efek samping dari banyak obat obesitas tersebut. Efeknya juga diperumit oleh hubungan pasien dengan makanan, terutama jika pasien cenderung menggunakan makanan sebagai mekanisme mengatasi emosi.
"Jika Anda menghilangkan keinginan untuk makan dan kepuasan makan, ini bisa menjadi tantangan emosional," ujar Fitch.