REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Ecological Observation and Wetland Conservations (ECOTON) Rafika Aprilianti mengungkapkan bahaya mikroplastik dari sampah pakaian yang bisa mencemari sungai serta merusak ekosistem di dalamnya. Mikroplastik tidak hanya membawa risiko dari bahan dasarnya sendiri seperti ftalat dan BPA yang bersifat pengganggu hormon, tetapi juga bertindak seperti magnet yang menyerap racun lain seperti pestisida dan logam berat di sungai.
"Ketika organisme air menelan mikroplastik, racun-racun ini masuk ke tubuh mereka dan dapat menyebabkan kerusakan organ, gangguan reproduksi, serta menurunkan populasi ikan endemik," kata Rafika, Senin (17/11/2025). Ketika polusi dari pewarna pakaian dan mikroplastik sudah mendominasi, sungai kehilangan fungsi alaminya sebagai sumber air bersih dan penopang kehidupan.
Rafika menyebut bahan sintetis seperti polyester, nylon, dan spandex sebagai kontributor terbesar dari polusi mikroplastik yang dihasilkan oleh sampah pakaian. Guna mencegah polusi mikroplastik, Rafika mendorong masyarakat menghindari penggunaan fast fashion atau pakaian yang diproduksi dengan cepat dan murah. Dia juga mengingatkan, pakaian yang sudah tidak dipakai sebaiknya disumbangkan kepada orang yang membutuhkan.
“Kalau bosan dengan pakaian itu-itu saja bisa mix and match. Pakaian yang masih layak pakai bisa disetorkan ke orang yang membutuhkan atau ditukar melalui berbagai proyek bersaling-silang,” ujarnya.
Ia juga merekomendasikan memilih pakaian dengan persentase serat alami yang lebih tinggi untuk mengurangi pelepasan mikroplastik ke lingkungan.
Diketahui, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Reza Cordova sebelumnya menyampaikan bahwa penelitian yang dilakukan sejak 2022 menunjukkan adanya mikroplastik dalam setiap sampel air hujan di Jakarta. "Mikroplastik ini berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di ruang terbuka. Yang beracun bukan air hujannya, tetapi partikel mikroplastik di dalamnya karena mengandung bahan kimia aditif atau menyerap polutan lain," katanya.
Peneliti menemukan rata-rata 15 partikel mikroplastik per meter persegi area per hari pada sampel air hujan di kawasan pesisir Jakarta. Menurut Reza, ini terjadi karena siklus plastik kini telah menjangkau atmosfer.
Mikroplastik yang terbawa angin turun kembali bersama air hujan. Guna menekan polusi mikroplastik dan risiko paparannya, penggunaan produk plastik harus diminimalkan.
View this post on Instagram