Jumat 05 May 2023 21:27 WIB

Pasien Talasemia di Indonesia Kini Didominasi Remaja, Dokter: Trennya Bergeser

Penyakit talasemia bisa merugikan tumbuh kembang anak, hingga bisa sebabkan kematian.

 Seorang pasien yang menderita talasemia sedang menerima darah (ilustrasi). Saat ini pasien talasemia di Indonesia didominasi usia remaja 14 hingga 15 tahun.
Foto: EPA-EFE/SAMIULLAH POPAL
Seorang pasien yang menderita talasemia sedang menerima darah (ilustrasi). Saat ini pasien talasemia di Indonesia didominasi usia remaja 14 hingga 15 tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) membeberkan, saat ini pasien yang menderita penyakit talasemia didominasi oleh usia remaja yang sedang memasuki fase pubertas. Usia remaja yang mengidap talasemia atau kelainan darah merah bawaan ini sekitar 14 hingga 15 tahun.

"Jadi sekarang sedikit (pasiennya) tapi lama-lama karena kita bagus menatalaksanakanya, trennya jadi bergeser," kata Ketua Unit Kerja Koordinator Hematologi Onkologi IDAI Teni Tjitra Sari dalam konferensi pers Hari Talasemia Sedunia 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat (5/5/2023).

Baca Juga

Teni mengatakan, kondisi tersebut berbeda dari beberapa tahun lalu, di mana pasien talasemia banyak ditemukan pada anak dengan usia sekitar 10 tahun. Tentunya selain bergeser ke usia remaja, tren orang dewasa yang terkena penyakit itu juga berkurang.

Terkait sebaran pasien talasemia pada 2020, menurut dia, jumlah pasien talasemia di Indonesia mencapai 10.550 orang, yang tertinggi ada di Jawa Barat. Walaupun penanganan talasemia di lapangan dinilai sudah lebih maju, Teni menilai hal yang patut dikhawatirkan adalah lahirnya anak-anak talasemia mayor lainnya.

Dia mengatakan dengan sekitar 200 juta penduduk Indonesia dan terjadinya 20 kelahiran per mil serta anggapan lima persen dari masyarakat sebagai pembawa sifat thalasemia, maka potensi bayi yang lahir dengan thalasemia mayor bisa mencapai 2.500 jiwa per tahun. "Kenapa hitungannya Kemenkes cuma 11 ribu? Bisa saja anak-anak ini tidak terdeteksi, sehingga ditata laksana sebagai penyakit lain atau memang mungkin sudah meninggal duluan, misalnya karena tidak ditata laksana. Itu yang memang jumlahnya ini tidak sejalan dengan apa yang diperhitungkan," kata dia.

Talasemia, kata dia, dapat merugikan tumbuh kembang anak karena anemia dan gangguan jantung akibat zat besi yang terus menumpuk hingga kematian. Oleh karena itu melalui Peringatan Hari Talasemia Sedunia Tahun 2023 yang mengambil tema "Be Aware, Share, Care: Strengthening Education to Bridge the Thalassemia Care Gap" yang diperingati pada 8 Mei 2023 itu, Teni mengajak agar masyarakat lebih peduli terhadap kondisi kesehatandengan melakukan skrining thalasemia sebelum melangsungkan pernikahan.

Menurut dia, Hari Talasemia Sedunia perlu dijadikan momentum untuk memperkuat sosialisasi dan edukasi agar kesenjangan dalam penanganan penyakit tersebut bisa berkurang. Dia berharap masyarakat semakin mengenali gejala ataupun komplikasi thalasemia, sehingga kepatuhan pasien meningkat dalam melakukan transfusi dan minum obat rutin.

Perlu diingat bahwa talasemia bukan penyakit menular walaupun dia merupakan penyakit genetik. "Ingat pembawa sifat talasemia minor itu tidak bergejala dan hanya bisa terdeteksi dari skrining di laboratorium. Mari kita putuskan rantai penurunan talasemia ini," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement