Kamis 20 Apr 2023 06:24 WIB

Tak Bisa Gerak Saat Tidur, Benarkah Ketindihan Hantu? Cek Faktanya

Kelumpuhan tidur paling sering terjadi antara tahap terjaga dan tidur.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Qommarria Rostanti
Seseorang mengalami kelumpuhan tidur (ilustrasi). Para peneliti percaya bahwa sekitar 20 persen orang pernah mengalami kelumpuhan tidur beberapa kali dalam hidup.
Foto: Needpix
Seseorang mengalami kelumpuhan tidur (ilustrasi). Para peneliti percaya bahwa sekitar 20 persen orang pernah mengalami kelumpuhan tidur beberapa kali dalam hidup.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak bisa bergerak sementara waktu saat tidur terkadang dialami oleh orang-orang. Masyarakat Indonesia sering menganggap kondisi ini sebagai fenomena ketindihan oleh hantu. Benarkah demikian?

Faktanya, tidak bisa bergerak ketika tidur bisa jadi tanda seseorang mengalami kelumpuhan tidur. Itu adalah kondisi di mana seseorang mengalami kelumpuhan sesaat sebelum tertidur atau saat pertama kali bangun pada pagi hari.

Baca Juga

Para peneliti percaya bahwa sekitar 20 persen orang pernah mengalami kelumpuhan tidur beberapa kali dalam hidup. Prevalensi itu cukup bervariasi, sebab salah satu studi menemukan sebanyak 38 persen dari peserta pernah mengalaminya.

Bisa jadi, sensasi itu hanya pernah dialami sekali atau seseorang justru sering merasakannya. Apa pun frekuensinya, penting untuk memahami tentang kelumpuhan tidur, sehingga seseorang bisa mengetahui cara menghadapinya jika sensasi itu muncul.

Direktur medis Pusat Gangguan Tidur Kesehatan Intermountain di Utah, Kevin Walker, menjelaskan bahwa kelumpuhan tidur paling sering terjadi antara tahap terjaga dan tidur. Untuk waktu yang sangat singkat, seseorang mungkin tidak dapat bergerak atau berbicara.

Selama kelumpuhan tidur, seseorang mungkin juga merasa sulit untuk menarik napas dalam-dalam atau merasa dadanya sesak. Ada pula kecenderungan untuk berhalusinasi.

Hingga kini, penyebab pasti kelumpuhan tidur masih belum diketahui. Para ahli mendapati ada banyak faktor atau gangguan yang berkontribusi, termasuk insomnia, narkolepsi, sleep apnea, penyalahgunaan zat, dan perubahan mendadak pada jadwal tidur.

Namun, yang paling umum, kelumpuhan tidur merupakan kelanjutan dari apa yang terjadi secara alami di tubuh seseorang selama tidur. Ketika masuk ke kondisi mimpi tidur di malam hari (REM), tubuh memiliki mekanisme yang melumpuhkan otot.

"Kita sering bermimpi lebih banyak pada paruh kedua malam, termasuk sesaat sebelum bangun, jadi kelumpuhan tidur dianggap sebagai kelumpuhan terkait tidur REM yang dibawa ke dalam keadaan terjaga," kata Walker, dikutip dari laman USA Today, Rabu (19/4/2023).

Ahli saraf Mayo Clinic di Rochester, Melissa Lipford, menyampaikan bahwa kelumpuhan tidur dapat terjadi ketika seseorang kurang tidur dan lebih sering terjadi pada orang dengan gangguan tidur.

Meski terasa mengejutkan dan kadang menakutkan, kelumpuhan tidur tidak berbahaya terhadap tubuh dan biasanya berlalu dengan cepat. Namun, itu dikaitkan dengan munculnya kecemasan dan peningkatan stres di rumah, sekolah, atau tempat kerja.

Tubuh secara alami akan keluar dari kondisi kelumpuhan tidur dalam hitungan detik hingga beberapa menit. Lipford menyarankan untuk melakukan gerakan kecil pada jari tangan atau kaki dan mengambil napas lambat untuk pulih lebih cepat.

"Strategi terpenting adalah mengatakan pada diri sendiri bahwa ini adalah pengalaman sementara dan akan segera berakhir. Kebanyakan orang kemudian akan tertidur kembali dan bangun tanpa masalah," ujar Lipford.

Cara terbaik untuk mencegah terjadinya kelumpuhan tidur adalah dengan menerapkan jadwal tidur yang teratur dan tidur cukup secara konsisten. Bisa juga dengan menghindari kafein, ngemil, dan makan besar sebelum tidur. Jauhkan layar gawai sebelum tidur untuk mengurangi paparan cahaya biru yang memberikan stimulasi berlebih.

Disarankan segera tidur saat mengantuk dan minimalkan waktu terjaga di tempat tidur. "Kelumpuhan tidur biasanya bukan masalah kesehatan yang serius, tetapi jika Anda sering mengalami gejalanya, bicarakan dengan penyedia layanan kesehatan untuk mengevaluasi gangguan tidur lain yang mendasari atau kondisi medis yang dapat berkontribusi," kata Lipford.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement