REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Erlina Burhan menegaskan tidak ada kaitannya antara gagal ginjal akut dengan COVID-19. Pernyataan ini menanggapi kekhawatiran orang tua ihwal virus COVID-19 yang bisa memperburuk kondisi pasien gagal ginjal akut.
Erlina menerangkan, virus COVID-19 lebih banyak menyerang saluran pernafasan, meskipun tidak menutup kemungkinan juga saluran pencernaan. Sehingga, tidak heran, jika ada pasien COVID-19 bergejala diare.
"Saya bicara soal COVID-19 tapi nggak ada hubungannya sama gagal ginjal akut. Tapi sebenarnya COVID-19 ini, banyak menyerang saluran nafas, tetapi reseptor atau AC2 virus ini berikatan ada di saluran cerna oleh karenanya ada gejala diare," jelas Erlina dalam Konferensi Pers secara daring, Kamis (3/11/2022).
Diketahui, aktivitas badai sitokin berlebih bisa menyebabkan organ rusak dan kondisi pasien cepat memburuk. Sitokin juga bisa menyerang siapa saja, khususnya yang mengalami peradangan, akibat tubuh telah masuk virus ataupun bakteri.
Terapi maupun pengobatan pasien dengan badai sitokin sampai saat ini masih dalam penelitian. Belum ada obat yang bisa dianggap menyembuhkan suatu penyakit 100 persen. Namun demikian, dokter pada umumnya akan memberikan pengobatan sesuai gejala yang timbul. Serta juga bisa memberikan obat antivirus maupun antiperdangan.
Hingga kini, total ada 178 dari 325 anak dilaporkan meninggal karena gagal ginjal akut. Jumlah kasus tertinggi ada di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Aceh, Sumatera Barat dan Bali. Kesimpulan sementara saat ini penyebab gagal ginjal akut karena adanya senyawa kimia berbahaya yakni Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang dibawa oleh bahan pelarut Propolen Glikol (PG) di atas ambang batas aman 0,1 mg/ml pada produk obat sirop anak.