Kamis 19 May 2022 20:54 WIB

Penelitian Temukan Keterkaitan Kesehatan Usus dengan Depresi

Tingkat keparahan depresi dapar dipengaruhi oleh salah satu asam amino tertentu.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Nora Azizah
Tingkat keparahan depresi dapar dipengaruhi oleh salah satu asam amino tertentu.
Foto: www.pixabay.com
Tingkat keparahan depresi dapar dipengaruhi oleh salah satu asam amino tertentu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian yang diterbitkan di Metabolisme Sel, menunjukkan tingkat keparahan depresi dapat dipengaruhi oleh satu asam amino tertentu, prolin. Penelitian ini juga menunjukkan bakteri usus seseorang dapat mempengaruhi bagaimana asam amino itu diproses. Tak hanya itu, bakteri usus juga dapat melawan efek depresinya pada beberapa orang.

Para peneliti menggunakan multi-omik pendekatan analisis-analisis terpadu dari banyak molekul yang berbeda. Mereka mengontrol obat antidepresan dan anti-kecemasan dalam sampel mereka.

Baca Juga

Pertama, mereka menganalisis jenis dan jumlah asam amino dalam makanan mereka yang berpartisipasi dalam penelitian. Mereka juga menganalisis plasma darah dan sampel tinja dari para peserta. Mereka yang memiliki tingkat prolin yang lebih tinggi dalam makanan mereka, melaporkan depresi yang lebih parah.

Prolin dapat dimetabolisme menjadi GABA, neurotransmitter yang dianggap membantu memerangi depresi. Namun, kadar prolin yang tinggi dapat mengganggu produksi GABA. Para peserta yang melaporkan depresi yang lebih parah juga cenderung memiliki kadar prolin plasma yang lebih tinggi. Ini menunjukkan prolin dalam makanan mereka tidak dimetabolisme secara efektif.

Beberapa orang dengan asupan prolin tinggi tidak melaporkan gejala yang lebih buruk. Para peneliti menemukan orang-orang ini memiliki kadar prolin plasma yang lebih rendah.

Saat menganalisis bakteri usus mereka, mereka menemukan mikrobiota mereka mirip dengan peserta yang melaporkan tingkat depresi yang rendah. Bakteri usus pada mereka dengan asupan prolin tinggi dan tingkat depresi yang rendah mengandung spesies yang terlibat dalam transportasi dan metabolisme prolin.

Untuk menguji teori mereka, para peneliti mentransplantasikan sampel tinja dari peserta penelitian ke tikus. Tikus yang menerima mikrobiota dari peserta yang lebih tertekan dengan tingkat prolin tinggi menunjukkan perilaku yang terkait dengan depresi. Untuk menguji lebih lanjut efek prolin, para peneliti mengisolasi bakteri usus yang mereka pikir mungkin membuat perbedaan.

Mereka menemukan tingkat Bifidobacterium yang lebih tinggi pada peserta dengan gejala depresi yang lebih sedikit bersama dengan beberapa jenis Lactobacillus. Bakteri usus lainnya, Enterobakter, dikaitkan dengan depresi yang lebih parah.

Mereka memberikan makanan yang mengandung Lactobacillus atau Enterobacter kepada lalat buah (Drosophila melanogaster). Lalat yang diberi Lactobacillus jauh lebih termotivasi untuk makan dan memanjat daripada yang diberi Enterobacter.

Dalam percobaan terakhir mereka, para peneliti memodifikasi lalat secara genetik sehingga prolin tidak dapat diangkut ke otak, lalat ini terbukti sangat tahan terhadap depresi.

Dr Tsai mengatakan dia tidak yakin dengan kesimpulan penelitian. “Saya merasa penelitian ini menarik tapi memiliki banyak keterbatasan dalam desain penelitian serta mengekstrapolasi hasil tikus atau lalat ke manusia. Mungkin ada korelasinya tapi penelitian ini jauh dari membuktikan sebab-akibat,” jelasnya seperti dilansir dari Medical News Today, Kamis (19/5/2022).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement