Jumat 11 Feb 2022 14:57 WIB

Waspada Sindrom Takotsubo yang Merebak Saat Pandemi, Apa Itu?

Sindrom 'takotsubo' merebak selama pandemi dan perlu diwaspadai.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Sindrom 'takotsubo' merebak selama pandemi dan perlu diwaspadai.
Foto: Pxhere
Sindrom 'takotsubo' merebak selama pandemi dan perlu diwaspadai.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- 'Sindrom patah hati' menjadi salah satu kondisi yang perlu diwaspadai di tengah merebaknya pandemi Covid-19. Istilah itu merupakan julukan untuk sindrom takotsubo atau kardiomiopati takotsubo.

Menurut para ahli, kondisi melemahnya otot jantung akibat stres yang berpotensi fatal tersebut secara tidak proporsional lebih memengaruhi perempuan. Gejala utamanya adalah nyeri dada dan sesak napas.

Baca Juga

Direktur Pusat Jantung Barbra Streisand di Cedars-Sinai, Los Angeles, Amerika Serikat, Noel Bairey Merz, menyatakan tidak tahu seberapa besar Covid-19 bisa disalahkan. Yang jelas, kini sindrom menjadi lebih mengemuka.

"Penyakit jantung adalah pembunuh utama perempuan dari segala usia, termasuk remaja, perempuan paruh baya dan perempuan yang lebih tua. Ini komponen dari pembunuh utama tersebut. Sesuatu yang benar-benar perlu ditangani," ungkap Merz.

Dia menginformasikan, satu dari lima pasien yang menderita gangguan jantung-otak akan mengalami serangan lagi dalam satu dekade. Dalam rilis berita Oktober 2021, Cedars-Sinai membagikan penelitian Smidt Heart Institute.

Studi itu telah diterbitkan dalam Journal of American Heart Association. Disebutkan bahwa perempuan paruh baya dan lebih tua didiagnosis hingga 10 kali lebih sering daripada perempuan atau laki-laki yang lebih muda.

Berdasarkan studi tersebut, jumlah kasus sindrom patah hati atau kardiomiopati takotsubo telah meningkat jauh sebelum virus corona melanda dunia. Meski begitu, pandemi global juga menimbulkan banyak tekanan bagi kaum hawa.

"Studi ini lebih lanjut memvalidasi peran penting yang dimainkan koneksi jantung-otak dalam kesehatan secara keseluruhan, terutama bagi perempuan," kata penulis senior studi, Susan Cheng.

Direktur Institute for Research on Healthy Aging di Departemen dari Cardiology di Smidt Heart Institute itu bekerja dengan timnya menganalisis data lebih dari 135 ribu pasien laki-laki dan perempuan yang didiagnosis mengidap sindrom takotsubo antara 2006 hingga 2017. Para peneliti masih bekerja untuk menyelidiki implikasi jangka panjang dari diagnosis dan faktor risikonya.

Menurut American Heart Journal, kardiomiopati takotsubo mendampak ventrikel kiri atau ruang pemompaan utama jantung, sehingga menjadi lemah. Pemicu utamanya yaitu stres emosional atau stres fisik yang parah.

Mayo Clinic menyampaikan, gejala sindrom patah hati bisa menyerupai serangan jantung. Penyebab sindrom belum diketahui secara jelas, tetapi teori yang mengemuka adalah akibat tekanan pada arteri besar atau kecil.

Perubahan sel otot jantung atau pembuluh darah koroner juga dapat berperan. Komplikasi sindrom ini antara lain tekanan darah rendah, gagal jantung, pembekuan darah di jantung, aritmia, edema paru, atau cairan di paru-paru.

Penggunaan obat-obatan tertentu dapat menyebabkan sindrom patah hati, termasuk obat gangguan kecemasan. Obat darurat dan dekongestan hidung turut disinyalir memicu sindrom ini, dikutip dari laman Fox News, Jumat (11/2/2022).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement