Rabu 20 Oct 2021 14:43 WIB

Sindrom 'Patah Hati' Meningkat Selama Pandemi

Sindrom 'Patah Hati' disebut mirip dengan serangan jantung, tetapi berbeda sebab.

Rep: Santi Sopia/ Red: Nora Azizah
Sindrom 'Patah Hati' disebut mirip dengan serangan jantung, tetapi berbeda sebab.
Foto: www.freepik.com.
Sindrom 'Patah Hati' disebut mirip dengan serangan jantung, tetapi berbeda sebab.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para peneliti mencatat 'Sindrom patah hati' meningkat di bawah tekanan pandemi. Dalam studi baru, para peneliti menemukan bahwa sejak 2006, semakin banyak orang Amerika dirawat di rumah sakit karena kondisi yang juga disebut kardiomiopati stres dalam ilmu kesehatan mental. 

Jumlah orang Amerika Serikat (AS) yang didiagnosis dengan sindrom "patah hati" terus meningkat dalam 15 tahun terakhir. Sebagian besarnya, lebih dari 88 persen adalah wanita, yakni mereka yang berusia 50 hingga 74 tahun yang memiliki risiko terbesar. 

Baca Juga

"Ini seperti awal kerentanan," kata peneliti senior Dr. Susan Cheng, dari Smidt Heart Institute di Cedars-Sinai Medical Center, Los Angeles, dilansir laman unitedpressinternational, Rabu (20/10).

Kondisi yang disebut kardiomiopati stres oleh dokter tampak mirip dengan serangan jantung, yakni gejala seperti nyeri dada hingga sesak napas. Hanya saja, penyebabnya yang tentu berbeda. Para ahli percaya sindrom patah bari ini mencerminkan kelemahan sementara pada otot jantung karena lonjakan hormon stres.

Kondisi ini mungkin timbul dalam beberapa hari setelah peristiwa yang sulit secara emosional, seperti kematian orang yang dicintai atau perceraian. Tetapi, situasi stres lainnya, dari kecelakaan lalu lintas hingga menjalani operasi, juga bisa menjadi pemicunya. Kebanyakan orang pulih sepenuhnya dari jenis patah hati ini, tetapi dalam kasus yang jarang terjadi bisa berakibat fatal.

Menurut Cheng, kardiomiopati stres sebenarnya cukup jarang. Menurut American College of Cardiology, ada antara 15 dan 30 kasus untuk setiap 100.000 orang Amerika setiap tahun. Namun, kejadian sebenarnya kemungkinan lebih tinggi. Sebab, orang mungkin tidak mencari bantuan untuk gejala yang lebih ringan.

Tim Cheng menemukan lebih dari 135.000 kasus kardiomiopati stres yang terdokumentasi antara tahun 2006 dan 2017. Kasus itu terus meningkat dari waktu ke waktu, terutama pada antara wanita berusia 50 hingga 74 tahun. Pada 2006, kondisi tersebut nyaris tidak terdeteksi. 

Pada 2017, ada sekitar 1.500 kasus per juta rawat inap di antara wanita berusia 50 hingga 74 tahun. Sementara itu, wanita berusia 75 tahun ke atas juga menunjukkan peningkatan insiden kondisi tersebut, seperti halnya pria, meskipun jumlahnya jauh lebih kecil.

Dr Ilan Wittstein, ahli kardiomiopati stres di Universitas Johns Hopkins, Baltimore, yang juga memimpin penelitian tahun 2005 memperkenalkan konsep sindrom patah hati ke bidang medis yang lebih luas. Studi yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine menyebutkan ada peningkatan kesadaran maupun kasus. Sebuah studi terpisah yang menggambarkan kasus kardiomiopati baru diterbitkan dalam jurnal Circulation pada waktu yang hampir bersamaan.

"Jadi, ribuan dokter mengetahui hal ini dalam waktu sepekan," kata Wittstein.

Rawat inap untuk kondisi tersebut tiba-tiba meningkat pada tahun 2007. Studi Wittstein yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada 2005 melaporkan 19 kasus, 18 di antaranya adalah perempuan.

Menurut Wittstein, ada satu teori bahwa perubahan menopause mengubah sistem saraf dengan cara menempatkan beberapa wanita pada risiko. Selama masa stres, pembuluh darah yang lebih kecil dari sistem kardiovaskular menyempit daripada melebar.

Orang dengan kardiomiopati stres mungkin memiliki beberapa faktor risiko untuk serangan jantung. Untungnya, dalam banyak kasus, kemampuan memompa jantung pulih sepenuhnya dalam satu atau dua pekan. Tetapi dalam kasus yang jarang terjadi, orang dapat mengalami gagal jantung atau aritmia jantung yang mengancam jiwa.

Wittstein menambahkan, tidak ada cara yang pasti bagaimana mencegah sindrom patah hati. Namun, setidaknya, gaya hidup sehat dapat membantu. Sebut saja, seperti menemukan cara untuk mengelola stres, melalui olahraga, yoga, meditasi atau menjadi lebih baik, misalnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement