Rabu 07 Jul 2021 12:21 WIB

Bisakah Camilan Prebiotik Tingkatkan Bakteri Baik di Usus?

Semakin banyak jenis serat dalam makanan, jumlah gen bakteri baik pun semakin banyak.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Qommarria Rostanti
Para ilmuwan mencoba mengungkap lebih lanjut mengenai efek baik camilan prebiotik pada usus. (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com.
Para ilmuwan mencoba mengungkap lebih lanjut mengenai efek baik camilan prebiotik pada usus. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ilmuwan mencoba mengungkap lebih lanjut mengenai efek baik camilan prebiotik. Prebiotik merupakan senyawa dalam makanan yang memicu pertumbuhan atau aktivitas mikroorganisme menguntungkan dalam tubuh.

Percobaan yang dilakukan pada tikus dan manusia menunjukkan bahwa makanan ringan yang dilengkapi dengan jenis serat tertentu dapat mengubah mikrobiota usus dan menyebabkan efek fisiologis yang meluas. Artinya, makanan ringan prebiotik berpotensi baik pada kesehatan.

Hubungan antara diet, mikrobiota, dan kesehatan individu selama ini diketahui sangat kompleks. Para ilmuwan dari Pusat Penelitian Mikrobioma dan Nutrisi Usus di Fakultas Kedokteran Universitas Washington di St Louis, Missouri, Amerika Serikat, terus mengeksplorasi keterkaitan itu.

Dalam penelitian terdahulu, mereka berhasil mengidentifikasi sumber serat yang murah dan banyak tersedia seperti dari kulit dan sekam yang biasanya dibuang. Sumber serat itu terbukti meningkatkan mikroba usus yang jumlahnya cenderung kurang pada orang dewasa obesitas.

Menindaklanjuti itu, periset menggagas studi baru yang telah diterbitkan di Jurnal Nature. Dalam studi, tim menguji bagaimana makanan ringan yang dilengkapi dengan beberapa serat memengaruhi kondisi mikrobiota usus pada tikus dan manusia, serta melihat kemungkinan efek fisiologisnya.

Pada fase pertama penelitian, para ilmuwan melibatkan tikus "gnotobiotik", yang dibesarkan dalam kondisi steril sehingga ususnya kekurangan mikroba usus sendiri. Usus tikus lantas sengaja diisi dengan mikroba dari orang obesitas, kemudian satwa diberi makan tinggi lemak dan rendah serat.

Selanjutnya, secara berurutan tikus diberi makanan ringan yang dilengkapi dengan serat kacang polong, serat jeruk, atau dedak jelai. Cara ini bertujuan melacak efek dari setiap jenis serat pada kumpulan gen mikrobiota usus hewan, yang didapat melalui analisis DNA mikroba dalam sampel tinja.

Hasilnya, setiap camilan menyebabkan peningkatan kelimpahan gen yang diperlukan untuk membuat enzim untuk mencerna serat tertentu. Pada tahap kedua penelitian, para peneliti melakukan eksperimen serupa tapi melibatkan 12 sukarelawan manusia yang kelebihan berat badan atau obesitas.

Pola makan para sukarelawan awalnya tinggi lemak jenuh dan rendah serat. Tim peneliti kemudian memantau perubahan genetik dalam mikrobiota mereka sebelum, selama, dan setelah periode dua pekan, di mana mereka juga makan snack bar yang dilengkapi dengan serat kacang polong.

Tim mengamati perubahan pada mikrobiota usus relawan yang serupa dengan tikus di tahap penelitian sebelumnya, yaitu adanya peningkatan kelimpahan gen yang dibutuhkan untuk mencerna serat. Tahap berikutnya, tim mencari tahu efek makanan ringan yang mengandung beberapa jenis serat.

Sebanyak 14 sukarelawan semula diminta menyantap makanan ringan dengan kombinasi serat kacang polong dan inulin. Kemudian, setelah periode jeda, mereka makan camilan yang mengandung inulin, serat kacang polong, serat jeruk, dan dedak jelai.

Penulis senior studi, Profesor Jeffrey I Gordon, menyampaikan bahwa semakin banyak jenis serat dalam makanan, jumlah gen bakteri yang berperan dalam metabolisme serat kian berlimpah. "Karena makanan ringan adalah bagian populer dari diet Barat, kami mengembangkan generasi baru formulasi makanan ringan yang akan disukai orang dan mendukung mikrobioma usus sehat yang memengaruhi banyak aspek kesehatan," ujarnya, dikutip dari Medical News Today, Rabu (7/7).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement