Ahad 24 May 2020 09:33 WIB

Fitofarmaka, Pilihan Obat dengan Kembali ke Alam (Bagian 2)

Saat ini baru ada 18 fitofarmaka di Indonesia.

Para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan proses ekstraksi saat uji laboratorium penemuan obat herbal untuk penyembuhan COVID-19 dan penghambatan pertumbuhan virus corona di Pusat Penelitian Kimia LIPI di Banten, Indonesia pada Jumat 8 Mei 2020.
Foto:

Untuk mengembangkan satu fitofarmaka tentu perlu ada studi ilmiah guna mengetahui senyawa apa yang terkandungdalam flora ataupun fauna.

Setelahnya, studi in vitro dilakukan, baik dari bioassay hingga mekanisme aksi untuk mencari kandungan ekstrak ataupun senyawa tunggal yang ada pada tanaman.

Tahapan uji praklinis lalu dilakukan untuk mengetahui bagaimana aktivitas senyawa itu pada mahluk hidup. Pada tahap itu, hewan-hewan uji laboratorium seperti mencit hingga primata yang memang bebas dari mikroorganisme patogen, memiliki reaksi imunitas yang baik, kepekaan pada suatu penyakit, dan performa atau anatomi tubuh yang baik yang berperan.

Saat uji praklinis dilakukan artinya proses trial and error terjadi. Kemampuan laboratorium diuji untuk mampu memastikan senyawa calon obat tadi aman untuk lolos ke tahap uji klinis, yang akan diujikan pada manusia.

“Tapi rata-rata pengembangan obat memang plus minus sampai 10 tahun. Itu terhitungnya sebagai obat konvensional, jadi yang single compound. Kalau obat herbal bisa lebih cepat, lebih pendek dari itu kalau kita sudah ada bukti empirisnya,” kata peneliti Centre for Drug Discovery and Development (CDDD) di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mega Ferdina Warsito.

LIPI, menurut Koordinator peneliti pada Centre for Drug Discovery and Development di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Masteria Yonavilsa Putra, mencari atau eksplorasi senyawa aktif dari tanaman-tanaman obat atau dari laut Indonesia sudah sejak 20 hingga 30 tahun lalu. Tapi untuk tujuan pengembangan obat itu fokusnya baru lima tahun belakangan.

“Kita melihat global, dan kebetulan melihat kebutuhan dalam negeri. Tidak bisa juga karena globalnya perkembangannya seperti itu tapi di Indonesia tidak ada ya nggak bisa. Jadi kita lihat apa yang ada di Indonesia dan apa yang bisa untuk Indonesia,” ujar dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement