Ahad 24 May 2020 09:33 WIB

Fitofarmaka, Pilihan Obat dengan Kembali ke Alam (Bagian 2)

Saat ini baru ada 18 fitofarmaka di Indonesia.

Para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan proses ekstraksi saat uji laboratorium penemuan obat herbal untuk penyembuhan COVID-19 dan penghambatan pertumbuhan virus corona di Pusat Penelitian Kimia LIPI di Banten, Indonesia pada Jumat 8 Mei 2020.
Foto:

Namun demikian, perlu komitmen semua pihak untuk mengakselerasi perkembangannya di Indonesia, karena sejauh ini baru ada 18 fitofarmaka. Mulai dari komitmen pendanaan, regulasi, regulasi BPOM, regulasi Kementerian Kesehatan untuk uji trial semua mempengaruhi.

“Untuk uji trial itu kan perlu Kementerian Kesehatan karena mereka yang ‘punya’ rumah sakitnya. Kan nggak bisa kalau misal saya sudah punya obat tapi tidak bisa trial karena nggak punya pasien. Jadi memang sinergi semua pihak dan komitmen semua pihak penting,” ujar Masteria.

Untuk itu, sejak 2019, CDDD yang menggabungkan sejumlah pusat penelitian di LIPI untuk akselerasi memperoleh fitofarmaka dari herbal merah dan tripang pasir tersebut, katanya.

Sejauh ini tim sudah memiliki senyawa marker aktif yang mampu menghambat sel kanker dari tripang secara in vitro. Targetnya di 2023 sudah bisa menghasilkan fitofarmaka, jika tahap formulasi dan pengembangannya sesuai dengan regulasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Sinergi semua pihak diperlukan untuk dapat mempersingkat proses regulasi dan registrasi fitofarmaka. Dari Kementerian Kesehatan hingga BPOM, semua harus terlibat sejak awal penelitian itu berjalan, sehingga jika ada standar operasional prosedur (SOP) yang keliru dijalankan segera dapat dikoreksi sejak awal sehingga tidak perlu mengulang lagi dari permulaan.

Namun Masteriamengatakan komitmen menggenjot produksi obat di dalam negeri dengan menjadikannya Prioritas Riset Nasional harus diakui sangat membantu bagi para peneliti. Para peneliti tidak perlu lagi terbebani oleh urusan administratif, hanya fokus untuk riset sehingga output tercapai.

“Sekarang triple helix itu berjalan. Kita bahas terus setiap bulan, apa kendalanya. Ya tidak hanya LIPI karena ada universitas lain dan LPNK lain. Kita kolaborasikan dan elaborasi secara bersama,” ujar dia.

Hal lain yang tidak kalah penting, menurut peneliti dari Center for Drug Discovery and Development di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Siti Irma Rahmawati, memasukkan fitofarmaka hasil Prioritas Riset Nasional tersebut ke dalam e-katalog obat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) agar obat tersebut terpakai.

“Itu penting, karena kalau tidak akan kalah bersaing dengan obat-obat konvensional. Dokter enggak mau meresepkan. Atau bisa masuk dalam e-katalog BPJS. Kenapa enggak bantu kita yang sudah melakukan riset dan memang sudah ada hasilnya, karena kalau tidak bisa dijual buat apa riset,” ujar dia.

Dengan memasukkannya dalam e-katalog JKN atau BPJS Kesehatan tentu masyarakat yang merasakan langsung manfaatnya. Sehingga riset dan harapan Presiden Joko Widodo untuk mengupayakan pengurangan bahan baku obat impor berkurang sehingga harga obat menjadi murah tidak sia-sia.

Hal menarik lainnya terkait pertimbangan pengembangan fitofarmaka yang mungkin selama ini belum terpikirkan jika dibandingkan dengan dana yang dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk menyembuhkan masyarakat terkena kanker yang menembus angka Rp 13 triliun di periode 2014-2019.

Sementara dengan Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar dana riset pengembangan fitofarmaka untuk obat kanker dapat dilakukan dalam lima tahun misalnya, lalu setiap dokter mau meresepkan obat tersebut maka nilai miliaran rupiah yang telah dikeluarkan tentu tidak akan mubazir, kata Peneliti lainnya dari Centre for Drug Discovery and Development di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Iskandar Azmy Harahap.

Kepala LIPI Laksana Tri Handoko mengatakan keterlibatan swasta di tahapan pertengahan penelitian akan mempercepat Indonesia menghasilkan fitofarmaka.

"Jadi kita harus melibatkan swasta sejak di tahapan pertengahan, minimal setelah praklinis, sebelum uji klinis," katanya.

Swasta yang paling tahu kebutuhan pasar dan tentang mana obat yang lebih kompetitif sehingga dari beberapa kandidat fitofarmaka yang dikembangkan oleh peneliti bisa dipilih yang paling kompetitif nantinya untuk dipasarkan.

Setidaknya dalam dua tahun ke depan akan mulai banyak fitofarmaka yang memasuki tahap uji praklinis. Namun demikian, hal itu akan tergantung jenis obat yang hendak dikembangkan untuk bisa cepat menjadi fitofarmaka.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement