REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Data dari World Bank mengungkapkan bahwa angka perokok laki-laki di Indonesia mencapai 76 persen. Ini membuat Indonesia menempati urutan teratas dalam jumlah perokok laki-laki di dunia. Banyaknya jumlah perokok membuat Indonesia seperti sedang "menabung" penderita kanker paru untuk masa yang akan datang.
"Kita sedang menabung penderita kanker paru. Dalam 10 tahun, kalau kita gini-gini saja, jumlah kanker paru akan semakin banyak," ungkap spesialis paru konsultan dr Elisna Syahruddin PhD SpP(K) dalam peringatan Hari Kanker Sedunia 2020 bersama Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Pusat dan Merck Sharp and Dohme (MSD), di Jakarta.
Seperti diketahui, faktor risiko terbesar dari kanker paru adalah paparan asap rokok. Peningkatan risiko kanker paru ini tak hanya dihadapi oleh perokok aktif tetapi juga perokok pasif dan third hand smoker.
Perokok pasif dan third hand smoker dinilai turut berkontribusi terhadap meningkatkan pengidap kanker paru di usia yang lebih muda. Elisna mengatakan, seorang anak berusia 14 tahun bahkan ada yang sudah terdiagnosis dengan kanker paru karena berada di lingkungan perokok.
"Kanker paru tidak pernah mendadak. Minimal sudah 10 tahun sakit. Bergejala dan bisa didiagnosis setelah 10 tahun," kata Elisna.
Jenis rokok yang bisa meningkatkan risiko kanker paru pun bukan hanya rokok konvensional. Sisha dan rokok elektrik, seperti vape, juga dapat menyebabkan peningkatan risiko kanker paru yang sama seperti rokok kovensional.
Elisna mengatakan, meski saat ini seluruh masyarakat Indonesia berhenti merokok, kasus kanker paru akan tetap ada dalam 10 tahun. Dampak dari penurunan jumlah perokok baru akan terlihat setelah melewati waktu 10 tahun.
"Jadi korelasinya jelas (antara rokok dan kanker paru). Nggak ada tuh mengatakan 'ah itu kan nasib'. Nggak ada nasib, itu sudah jelas korelasinya," ujar Elisna.
Senada dengan Elisna, Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Prof Dr dr Aru Wisaksono Sudoyo SpPD KHOM juga menegaskan kaitan erat antara masalah rokok dan risiko kanker paru. Aru juga mengingatkan masyarakat bahwa sebatang rokok konvensional diperkirakan mengandung 7.357 zat kimia di mana sebanyak 70 di antaranya sudah terbukti karsinogenik atau dapat memicu kanker.
"Ini bahan-bahan yang sebenarnya tidak kita konsumsi dan kita hirup," tutur Aru.
Ironisnya, rokok masih dianggap sebagai salah satu kebutuhan bagi sebagian masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari cukup besarnya biaya yang dikeluarkan oleh perokok untuk membeli rokok.
Berdasarkan sebuah studi pada 2005, dr Sita Laksmi Andarini PhD SpP(K) mengatakan, perokok bisa menghabiskan 11,5 persen dari seluruh penghasilannya untuk membeli rokok. Angka ini lebih besar bila dibandingkan dengan uang yang mereka keluarkan untuk membeli ikan, daging, telur dan susu, yaitu 11 persen.
Bahkan berdasarkan survei tersebut, perokok hanya menggunakan 3,2 persen dari seluruh penghasilannya untuk biaya pendidikan. Yang lebih ironis, uang yang mereka keluarkan untuk biaya kesehatan hanya 2,3 persen dari penghasilan.
Sita mengatakan, dampak dari kebiasaan merokok memang tidak akan langsung terlihat dalam waktu dekat. Tapi bukan berarti dampak dari kebiasaan merokok ini boleh diabaikan, karena konsekuensinya akan terlihat jelas dalam 20 tahun ke depan.
"Yang kita sekarang lihat ini (dampak kebiasaan merokok) dari tahun 2000," ujar Sita.