REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter rehabilitasi skoliosis, tulang, syaraf dan otot, Budi Sugiarto Widjaja, mengatakan, faktor genetik atau keturunan dapat menjadi salah satu hal yang meningkatkan risiko penyakit skoliosis atau kelengkungan tulang belakang yang tidak normal. Prosentase untuk anak perempuan dan laki-laki juga berbeda.
Budi mengatakan, jika orang tua seorang anak mengidap skoliosis, biasanya untuk anak pertama perempuan memiliki tingkat risiko 60 persen. Sementara untuk anak pertama laki-laki, risiko mendapat penyakit melalui faktor genetik ini lebih rendah yakni menjadi 40 persen.
"Itu kemungkinan besar risikonya, bisa saja sama atau berbeda," ujar Budi, belum lama ini.
Namun, ia mengakui masih terdapat kasus skoliosis yang terjadi tanpa melalui faktor genetik dan kemungkinan terjadinya sekitar 80 persen dari jumlah kasus. Hal itu biasa disebut dengan skoliosis idiopatik yakni skoliosis yang penyebabnya masih belum diketahui secara pasti.
Skoliosis tipe ini pada umumnya dapat terjadi di usia pertumbuhan, bahkan 85 persen di usia remaja. Selain tipe idiopatik, terdapat pula skoliosis yang disebabkan oleh kelainan neuromuskular, bawaan lahir, akibat trauma atau akibat sindroma tertentu.
Dari sisi medis, ia menyebutkan skoliosis menyebabkan penderitanya mudah lelah sebab rongga dada mengecil, bengkok serta volume paru-paru turun sehingga menyebabkan sesak. Untuk kasus skoliosis yang berujung pada meninggal dunia, ia mengatakan hal itu tidak serta merta terjadi akibat bengkoknya tulang belakang, melainkan biasanya terjadi pada pasien yang memang memiliki penyakit bawaan lainnya.
Sejauh ini, melalui Klinik Spine dirinya telah menangani sebanyak 850 kasus skoliosis di Indonesia. Selain operasi, pihaknya melakukan terapi memadukan latihan fisik dan penggunaan penunjang tulang atau brace yang dapat berguna untuk mengembalikan posisi tulang belakang.