REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kunyit merupakan salah satu rempah yang banyak digunakan di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Selain untuk keperluan memasak, kunyit juga dinilai memiliki khasiat yang menyehatkan tubuh.
Salah satu zat kimia di dalam kunyit yang menarik perhatian banyak peneliti adalah polifenol bernama diferuloylmethane. Zat kimia ini lebih dikenal dengan nama curcumin.
Sejak 1924 hingga 2018, sekitar 37 persen studi terhadap curcumin berfokus pada kanker. Salah satu studi terbaru yang dimuat dalam jurnal Nutrients juga kembali menyoroti potensi curcumin dari kunyit terhadap pengobatan kanker.
Studi ini berfokus pada kanker payudara, kanker paru, kanker darah, serta kanker di sistem pencernaan. Studi ini berhasil mengungkapkan bahwa curcumin dapat memengaruhi banyak molekul yang berperan dalam kanker seperti faktor transkripsi yang berperan dalam replikasi DNA, faktor pertumbuhan, sitokin yang berperan dalam pensinyalan sel, serta protein apoptosis.
"Curcumin merupakan kandidat menjanjikan sebagai obat antikanker efektif untuk digunakan secara tunggal atau kombinasi dengan obat lain," jelas tim peneliti, seperti dilansir Medical News Today.
Meski menjanjikan, ada beragam tantangan untuk membuat curcumin benar-benar bisa digunakan dalam terapi kanker. Sebagai contoh, curcumin yang dikonsumsi secara oral akan dipecah oleh tubuh menjadi metabolit.
Akibatnya, semua bahan aktif yang ada kemungkinan besar tidak akan mencapai ke tumor kanker. Oleh karena itu, peneliti harus menemukan cara agar curcumin bisa masuk ke dalam tubuh dan terhindar dari proses metabolisme.
Cara yang dilakukan peneliti adalah mengemas curcumin menjadi kapsul dengan menggunakan protein nanopartikel. Studi terhadap hewan coba tikus mengungkapkan bahwa cara ini cukup menjanjikan.
Tantangan lainnya, sebagain besar studi terhadap curcumin merupakan studi in vitro. Artinya, peneliti melakukan studi di laboratorium dengan menggunakan sel atau jaringan.
Studi seperti ini memang penting untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, namun tidak semua studi in vitro bisa menunjukkan hasil yang serupa bila diterapkan pada manusia. Oleh karena itu, curcumin memang dapat dipandang sebagai senyawa alami bioaktif yang menjanjikan, khususnya untuk terapi beberapa jenis kanker. Akan tetapi, masih dibutuhkan beragam penelitian lebih lanjut pada manusia untuk membuktikan efikasi curcumin sebagai agen antikanker.
Peneliti juga mengingatkan bahwa penggunaan curcumin tak bebas dari risiko efek samping. Beberapa risiko efek samping penggunaan curcumin adalah mual, diare, sakit kepala, dan tinja berwarna kuning.
"Selain itu, curcumin juga menunjukkan bioavailabilitas yang kurang baik akibat penyerapan rendah, metabolisme yang cepat, dan eliminasi sistemik yang membatasi efikasinya dalam terapi penyakit," kata tim peneliti.