REPUBLIKA.CO.ID, Banyak orang di seluruh dunia mulai memberikan perhatian pada masalah resistensi (kebal) terhadap antibiotik. Berdasarkan survei yang dikeluarkan beberapa hari lalu, pada tahun 2017, terdapat 8.000 orang yang meninggal akibat kebal terhadap dua bakteri utama.
Tim dari Pusat Rumah Sakit National Center for Global Health and Medicine mendapati, para pasien paling banyak mengalami bakteremia karena mereka mengalami resistan terhadap dua bakteri, Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) dan Fluoroquinolone Resistant Salmonella.
Dari data tersebut, mereka memperkirakan, terdapat 7.400-8.100 orang meninggal setiap tahunnya. Khususnya dalam rentang waktu 2011-2017, sebagaimana dilansir The Japan Times, Kamis (5/12).
Lantaran bakteremia, MRSA telah mengakibatkan kematian bagi 4.224 orang pada tahun 2017. Angka tersebut semakin menurun sejak tahun 2011 lalu. Sementara, Salmonella telah mengakibatkan kematian bagi 3.915 orang dalam periode yang sama. Namun, angka kematian akibat Salmonella selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Diperkirakan, setiap tahunnya, terdapat 35 ribu orang di Amerika Serikat meninggal karena resisten terhadap antibiotik. Di wilayah Eropa, angka tersebut mencapai 33 ribu. Sementara untuk di Jepang angka tersebut belum diketahui. Peristiwa tersebut ditengarai karena ada banyak dokter yang memberikan resep antibiotik untuk setiap penyakit, termasuk untuk demam, maupun flu.
Tahun 2018, Organisasi Kesehatan Dunia, WHO telah memperingatkan, kebal terhadap antibiotik telah meningkat mendekati titik tertinggi di seluruh dunia. Oleh karenanya, infeksi pneumonia, tuberkulosis, keracunan darah, gonorrhoea, dan penyakit bawaan makanan lain akan sulit diatasi.
Jika fenomena kebal terhadap antibiotil tidak segera ditangani. Maka dalam beberapa tahun mendatang biaya pengobatan akan terus naik, perawatan di rumah sakit akan semakin lama, bahkan juga mengakibatkan kematian.
"Dunia perlu mengubah pola pemberian resep dan penggunaan antibiotik. Bahkan jika obat baru dikembangkan, tanpa perubahan perilaku, maka kebal terhadap antibiotik tetap menjadi ancaman utama," sebagaimana tertulis dalam laporan WHO.