Rabu 10 Apr 2019 16:34 WIB

Kekerasan Remaja Bisa Terjadi karena Minim Contoh Baik

Keluarga adalah tempat pertama anak belajar berinteraksi.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Indira Rezkisari
Kapolda Kalbar Irjen Pol Didi Haryono (kiri) didampingi Perwira Polda Kalbar Kompol Syarifah Salbiah (kanan) menemui LM (tengah), Ibu dari Au (14) yang menjadi korban penganiayaan pelajar SMU di Rumah Sakit Promedika Pontianak, Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (10/4/2019).
Foto: Antara/HS Putra
Kapolda Kalbar Irjen Pol Didi Haryono (kiri) didampingi Perwira Polda Kalbar Kompol Syarifah Salbiah (kanan) menemui LM (tengah), Ibu dari Au (14) yang menjadi korban penganiayaan pelajar SMU di Rumah Sakit Promedika Pontianak, Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (10/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog Klinis Inez Kristanti menyebut maraknya kekerasan yang terjadi pada remaja terjadi karena minimnya contoh baik ke anak. Ia mengatakan, orang tua dan keluarga memang harus mendampingi anak hingga tumbuh kembangnya tuntas.

Inez enggan berkomentar banyak mengenai fenomena kekerasan pada siswi sekolah menengah pertama (SMP) berinisial AY (14 tahun) karena tidak memeriksa langsung perilaku pelaku. Ia hanya berkomentar mengenai fenomena perundungan atau menyakiti orang lain secara umum yang terjadi di sekolah dan pelakunya adalah siswa-siswi yang masih remaja.

Baca Juga

"Padahal anak seusia segitu belum dewasa mengelola emosi, pengambilan keputusannya juga masih belum sebaik orang dewasa. Sehingga yang terpenting adalah pendampingan orang tua dan memberi contoh ke anak cara mengelola marah, rasa tidak suka termasuk menumbuhkan empati pada anak," ujarnya saat dihubungi Republika, Rabu (10/4).

Sebab, ia menambahkan, keluarga menjadi tempat anak menghabiskan waktu. Keluarga juga tempat belajar pertama bagaimana bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain.

Ia meminta orang tua di rumah juga perlu berhati-hati mengekspresikan rasa marah kepada buah hatinya. Ia meminta jangan sampai ortu tidak sadar  menanamkan perilaku-perilaku yang bisa dicontoh anak.

"Sehingga dampaknya anak mencontoh kemudian menyakiti dan melakukan itu ke orang lain," ujarnya.

Ketika nilai-nilai baik dan empati yang ditanamkan keluarga sudah kuat, dia melanjutkan, seharusnya sang anak punya pertahanan lebih kuat. Kemudian ketika lingkungan sekitarnya menanamkan hal tidak baik, ia menyebut sang anak sudah memiliki pertahanan nilai-nilai dari keluarganya.

"Tetapi kalau mau bagus ya didikan ortu kuat, lingkungan sekolah kuat, dan lingkungan pertemanannya juga sehat. Jadi semua saling mendukung," ujarnya.

Sebelumnya kasus penganiayaan AY terjadi karena saling sindir di media sosial terkait hubungan asmara salah satu pelaku dengan kakak korban. Terduga pelaku diperkirakan berjumlah 12 orang yang merupakan siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Pontianak.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement