Data statistik dalam penelitian ini membandingkan orang-orang yang paling jarang melakukan diet Mediterania dengan mereka yang paling sering. Studi ini melihat secara khusus komponen inflamasi, yaitu gula dan lemak jenuh. Orang yang paling jarang melakukan diet mengalami penuruan risiko sebesar 24 persen.
Meskipun hanya melihat adanya korelasi, peneliti mengatakan, kemungkinan ada hubungan kausal yang nyata dalam kasus-kasus ini. Ada sejumlah mekanisme molekular dan fisiologis yang diketahui dapat menjelaskannya hubungan tersebut, misalnya stres oksidatif, resistensi insulin, peradangan, aliran darah ke otak, dan mikroba usus.
"Diet yang kaya akan komponen anti-inflamasi dan anti-oksidan, umumnya ditemukan dalam buah, sayuran, kacang dan anggur (yang harus diminum dalam jumlah sedang), dapat secara langsung mempengaruhi otak dengan melindunginya dari stres oksidatif dan peradangan," tulis Lassale.
Penelitian sebelumnya juga menemukan hubungan yang signifikan antara diet yang mengandung makanan pemicu inflamasi dan risiko depresi. Selain itu, omega-3 sehat yang ditemukan pada ikan berlemak. Makanan ini dapat membantu struktur dan permeabilitas sel-sel otak, terutama di hippocampus, yang diketahui berpengaruh dalam depresi.
Akhirnya, perubahan mikroba usus yang menyertai berbagai diet juga dapat berperan dalam penurunan risiko depresi. Seperti diketahui, pola makan nabati diketahui dapat meningkatkan jenis bakteri tertentu, sementara diet ala Barat yang kurang sehat juga meningkatkan jenis bakteria lain.
Sangat mungkin bahwa diet Mediterania menumbuhkan beragam bakteri menguntungkan yang dapat memengaruhi otak, dan suasana hati, menjadi lebih baik.
Ikuti Whatsapp Channel Republika
