Rabu 27 Sep 2017 06:18 WIB

Kumandang Azan di Pulau Kera

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Yudha Manggala P Putra
Wisata ke NTT bukan hanya sebatas menikmati Pulau Komodo, terdapat sejumlah atraksi yang tak kalah menarik seperti Pantai Lasiana atau Pulau Kera yang juga cantik.
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Wisata ke NTT bukan hanya sebatas menikmati Pulau Komodo, terdapat sejumlah atraksi yang tak kalah menarik seperti Pantai Lasiana atau Pulau Kera yang juga cantik.

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Tak ada satu pun kera di Pulau Kera. Nama pulau kecil tersebut memang bukan berasal dari kera, si hewan berbulu kecokelatan dalam ordo primata.

Kata 'Kera' berasal dari istilah dalam bahasa Solor 'takera' yang artinya ember atau timba. Pemberian nama tersebut agaknya merujuk pada banyaknya wadah air yang digunakan warga yang hampir seluruhnya berprofesi sebagai nelayan. Pelafalan huruf 'e' pada 'Kera' juga tidak sama seperti menyebut huruf 'e' dalam kata emas. Pulau Kera diucapkan selayaknya huruf 'e' dalam kata enak.

Butuh waktu 45 menit hingga satu jam perjalanan laut menuju pulau yang menjadi bagian dari Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang itu. Perahu bisa disewa dari para nelayan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Oeba di Jalan Alor, Kupang.

Pasir putih Pulau Kera menyambut kedatangan dengan bentang biru laut yang bagai tanpa ujung. Pemandangan itu amat menggirangkan bagi rombongan warga kota besar yang kekurangan vitamin sea (sebutan gaul untuk rindu main di laut).

Dari kondisi lautnya yang tenang, perairan sekitar Pulau Kera cocok untuk berenang, berjemur, atau snorkeling. Apalagi, terik sinar matahari seakan sudah meninggi meski waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi.

Akan tetapi, rombongan kami tak punya banyak waktu untuk bermain air. Kami hanya berniat mengambil beberapa foto dan sejenak berkeliling pulau. Setapak dekat bibir pantai mengarahkan pelancong ke sebuah bangunan sederhana. Masjid dengan kubah limas warna biru berdiri di tengah pulau, setia mengumandangkan azan.

Arsyad Abdul Latif adalah Imam di Masjid bernama Darul Bahar tersebut. Ia telah menjadi pemimpin dalam kepengurusan masjid sejak bangunan itu berdiri pada 20 Februari 2000. "Tidak hanya untuk shalat, masjid ini juga digunakan untuk belajar," ujar pria berusia 63 tahun itu.

Asad, panggilannya, menjelaskan, anak usia sekolah dasar belajar agama dan mengaji di sana. Tadinya, ada bangunan TPA yang berdiri sejak 2012, tetapi rubuh karena angin kencang pada 2014. Pendidikan di pulau tersebut memang kurang memadai. Keluarga yang hendak menyekolahkan anaknya harus mengirimkan putra-putri mereka menyeberang laut.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement