REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Berbohong, sebuah perilaku yang terkadang ditemukan di antara sejumlah masyarakat dunia. Banyak orang terpaksa berbohong untuk menyembunyikan kesalahan masing-masing. Atau, dapat juga demi menutupi kekurangan yang dimiliki seseorang.
Lalu bagaimana dengan anak, apa mereka juga suka berperilaku demikian? Lalu apa penyebabnya? Seperti dilansir Life Hack, Victoria Talwar telah melakukan penelitian ihwal berbohong. Untuk sementara, dia melakukan survei terhadap orang tua yang memiliki tipe pengasuhan yang terlalu membatasi atau ketat pada anak. Penelitian ini dilakukan pada dua sekolah di Afrika Barat. Satu di antaranya memiliki aturan santai sedangkan lainnya sangat ketat.
Dalam proses penelitian, anak diminta menebak suatu objek melalui suara tanpa melihatnya. Kuncinya ada pada objek terakhir yang suaranya tidak berhubungan dengan benda dimaksud. Saat anak mendengar suara berkotek, mereka justru berhasil menyebut objek sebagai bola bisbol. Hal ini berarti mereka sempat mengintip dalam proses tersebut.
Di akhir penelitian, mereka akan ditanya ihwal mengintip atau tidaknya dalam kegiatan tersebut. Setelah mendengar jawaban, peneliti berkesimpulan, anak di sekolah yang lebih santai lebih beragam hasilnya, baik berkata jujur atau berbohong. Sementara anak-anak di sekolah dengan aturan ketat lebih produktif perilaku berbohongnya.
Kenapa anak bisa menjadi pembohong dengan pengasuhan yang terlalu ketat? Studi tersebut menyebutkan, pola ketat biasanya akan memberikan hukuman kepada anak apabila mereka melakukan kesalahan. Untuk menghindari hukuman, tanpa disadari anak-anak berubah menjadi pembohong yang mahir. Dengan kata lain, bohong digunakan sebagai cara mereka melarikan diri dari hukuman. Terlebih lagi hukuman yang dipakai sangat kasar dan membuat anak takut.