REPUBLIKA.CO.ID, Roti saat ini merupakan hal umum yang dinikmati banyak orang di Jepang. Akan tetapi, untuk mencapai hal itu dari warga Jepang, ternyata roti harus mengalami jalan yang cukup berliku.
Hidangan roti pada dasarnya memiliki nilai sejarah yang cukup kental di Jepang. Betapa tidak, setelah Perang Dunia II, roti menjadi simbol dari pendudukan Amerika (sekutu) di Jepang. Pasalnya, kala itu roti berkualitas rendah didistribusikan kepada warga Jepang sebagai pengganti nasi bersama dengan susu bubuk. Sajian ini kerap didapati di sekolah-sekolah Jepang.
Tentu, pada saat itu roti sama sekali tidak dapat 'menyentuh' hati warga Jepang. Dengan kualitas yang kurang baik, roti yang disajikan pada saat itu memiliki rasa yang kurang bersahabat dengan lidah.
Akan tetapi, memasuki akhir 1970-an, orang-orang Jepang mulai menjadikan roti sebagai salah satu bahan makanan pokok. Meski begitu, ada satu jenis roti yang masih cukup tidak diterima oleh lidah warga Jepang. Roti tersebut ialah roti Prancis (furansu pan) bernama baguette. Dengan tekstur yang keras dan kurang memiliki rasa, warga Jepang cukup sulit menemukan di mana sisi kelezatan baguette.
Di awal kemunculannya, toko roti ternama seperti Pompadour dan Kobeya pun tidak berhasi mendongkrak penjualan baguette. Di saat produk lain seperti pastri manis dan pizza kari bisa ludes terjual bersama produk lainnya, hingga toko ditutup masih ada empat hingga lima baguette yang tersisa dan tidak terjual.