REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Berbagai masalah timbul akibat kekurangan gizi di pelosok Tanah Air. Di sisi lain, Indonesia saat ini juga menghadapi beban ganda berupa masalah kelebihan gizi, khususnya pada masyarakat di perkotaan.
Kelebihan gizi lebih sering disebut obesitas. Ahli Gizi dari Politeknik Kesehatan Denpasar, I Wayan Juniarsana mengatakan, ancaman gizi lebih berimplikasi pada kesehatan anak-anak di perkotaan. Pasalnya, mereka sering berinteraksi dengan mengonsumsi berbagai jajanan, seperti makanan cepat saji yang hanya mengandalkan kandungan kalori dan lemak, namun rendah serat dan vitamin.
"Inilah yang menimbulkan masalah gizi di perkotaan, seperti di Bali. Penumpukan kalori dan lemak memicu obesitas yang berlanjut ke masa remaja dan dewasa," kata Juniarsana kepada Republika, Rabu (8/4).
Faktor edukasi, menurut Juniarsana sangat penting untuk ditanamkan pada anak. Restoran-restoran cepat saji di perkotaan hendaknya mencantumkan nilai gizi pada makanan yang mereka sajikan.
"Nilai gizi hendaknya tertera, seperti kandungan kalori, lemak, dan vitamin. Masyarakat tak sekadar makan, tapi mereka benar-benar tahu apa yang mereka makan," ujar Juniarsana.
Orang tua di Bali, kata Juniarsana juga perlu memperkenalkan pangan alternatif sejak dini kepada anak-anak mereka. Misalnya, sumber karbohidrat itu tak hanya nasi, melainkan juga dari ubi ungu dan jagung.
Penganekaragaman dalam pengolahan makanan juga penting untuk mengalihkan perhatian anak dari makanan cepat saji. Misalnya, ubi ungu bisa diolah lebih lanjut menjadi es krim atau kudapan lain. Ikan juga bisa diolah sebagai pengganti daging. Jika perlu, orang tua melibatkan anak dalam proses pengolahan makanan sehingga suasana makan lebih menyenangkan.