Senin 02 Sep 2013 17:43 WIB

Batik, Secarik Kain Sarat Pesan

Batik Cap motif Parang Klithik Colet Putih (ilustrasi)
Foto: 1
1

Sempat mati suri, batik kini naik pamor lagi. Apalagi setelah badan dunia UNES CO menetapkannya sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia. Sentra-sentra batik yang semula sepi, kembali giat berproduksi.

Batik di tiap daerah, kata Indra yang merupakan pendiri komunitas Mbatik Yuuk, memiliki kekhasan. Batik Tuban--kerap disebut batik Gedog -- misalnya, dalam proses pembuatannya melalui jalan yang panjang. Ia dimulai dari memintal bahan kain yang akan dibatik, langsung dari kapas. Setelah menjadi benang, kemudian ditenun dan menjadi selembar kain untuk mulai dibatik.

Eksistensi batik gedog sempat mati suri, sempat menjadi langka dan hampir punah. Kondisi ini dikarenakan banyak perajin batik gedog yang enggan untuk memintal kain terlebih dahulu. Nama Gedog berasal dari bunyi 'dog-dog' yang berasal dari alat menenun batik.

Proses pembuatan batik gedog Tuban butuh waktu sekitar tiga bulan. Baru-baru ini, Museum Tekstil Indonesia menggelar pameran yang menampilkan batik dengan motif langka, nitik. Motif ini merupakan ragam hias ceplokan yang tersusun dari garis-garis halus, balok kecil, segi empat, serta titik-titik halus yang sepintas menyerupai tenunan.

Memang, batik nitik diilhami dari kain patola, tenun ikat ganda berbahan sutra asal India. Di Jawa pada masa lalu, kain ini disebut cinde, kain favorit keraton. Membuat batik dengan ragam hias nitik memerlukan keahlian khusus. Hanya pembatik yang sudah andal dan berpengalaman yang mampu mengerjakannya, dengan canting batik khusus.

Bicara soal canting,  di Yogyakarta, canting yang digunakan adalah canting dengan ujung caratnya dibelah empat, sedang di Surakarta bercarat dua. Di Pekalongan, batik nitik dikenal dengan nama batik jlamprang, dibuat dengan canting bermata empat buah carat kecil.

(onobatik.com)

Beda dengan di Yogyakarta dan Solo, batik Jlamprang redup pamornya. Tradisi pembuatan batik nitik di desa Krapyak, Pekalongan, sudah jarang ditemui. Saat ini hanya dibuat dengan cara cap oleh satu keluarga pembatik, karena keahlian membuat Jlamprang dengan teknik tulis sudah tak ada yang mewarisi lagi.

Jlamprang tulis dibuat terakhir tahun 2006 oleh Almarhum Aisyah, pembatik jlamprang Pekalongan yang terkenal.

"Saya keliling Pekalongan mencari batik tulis jlamprang, sangat sedikit yang mengenalnya," kata alumni Culture Heritage Universitas Canberra ini. Motif lama miskin apresiasi, meski soal motif nitik yang nyaris punah, penggiat batik Kendal, Shuniyya Ruhama Habiballah, tak sepakat.

Menurut dia pembatik jlamprang di Pekalongan masih ada, namun mereka jarang berproduksi. "Permintaannya memang tidak ada. Kalaupun berprorduksi, hanya sedikit yang diserap pasar," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement