Jumat 17 May 2024 03:54 WIB

Mengenal Parkinson, Penyakit Neurodegeneratif yang Hantui Lansia

Secara teori, sebesar 15 persen penyakit parkinson dipengaruhi dari faktor genetik

Pasien Parkinson (ilustrasi). Ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam pola makan penderita Parkinson.
Foto: Dok. Freepik
Pasien Parkinson (ilustrasi). Ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam pola makan penderita Parkinson.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Parkinson disebut menjadi salah satu penyakit neurodegeneratif yang menghantui masyarakat di Indonesia yang tergolong negara aging population, yakni 13 persen populasinya berusia lebih dari 60 tahun. Diketahui, parkinson merupakan penyakit akibat terjadinya proses penuaan pada sistem saraf di otak saat zat dopamin yang dihasilkan terus mengalami penurunan hingga 30 persen. 

“Secara teori, sebesar 15 persen penyakit parkinson dipengaruhi dari faktor genetik. Namun, dengan pemahaman secara medis yang semakin baik mengenai pengaruh genetik dalam penyakit Parkinson, genetik dapat menjadi menjadi faktor yang bisa menurunkan penyakit Parkinson,” ujar dokter spesialis saraf RS Siloam Lippo Village Tangerang, Rocksy Fransisca V Situmeang, Kamis (16/5/2024).

Dia menjelaskan, menurut Saman Zafar & Sridhara S.Yaddanapudi dari National Library of Medicine, setiap 1 persen orang berusia di atas 60 tahun terkena Parkinson. Tapi, seiring berjalannya waktu dan umur seseorang, penuaan sistem saraf pun terus mengalami kemunduran dan bisa terjadi mulai pada usia 50, 40, hingga usia 30 tahun. 

Menurut Rocksy, gejala pada penyakit Parkinson bisa disingkat menjadi akronim TRAP, yakni tremor, rigidity atau kekakuan, akinesia atau gerakan lebih lambat, dan postural instability atau ketidakstabilan postur. Selain gejala di atas, ada yang disebut gejala secara non motorik, seperti susah untuk tidur, gangguan penciuman, gangguan bab, dan susah menelan.  

Ketika seseorang terkena penyakit Parkinson, kata dia, yang pertama dilakukan adalah pergi ke dokter spesialis saraf untuk pengecekan lebih lanjut. Pemberian obat-obatan yang tepat dari dokter akan meningkatkan kualitas hidup seorang pasien menjadi lebih baik.

“Selain mengonsumsi obat-obatan, tentu pasien penyakit Parkinson juga membutuhkan latihan secara rutin untuk melatih gerak otot agar tidak mengalami kekakuan. Pada penyandang Parkinson juga perlu diimbangi dengan nutrisi yang cukup agar menjaga badan pasien Parkinson tetap fit,” jelas dia.

Rocksy mengatakan, parkinson merupakan penyakit yang tidak bisa dicegah. Tapi, dapat diminimalisasikan dengan memperbaiki pola hidup. Lebih lanjut, dokter yang merupakan lulusan Universitas Indonesia itu menyebutkan, jika mengonsumsi makanan bergizi, air putih yang cukup, buah dan sayur yang alami, serta menjaga lingkungan tetap bersih sehingga kualitas udara di sekitar tetap terjaga dapat membantu seseorang untuk meminimalisir terkena penyakit Parkinson.

“Satu lagi yang tidak kalah penting, tingkat stres juga dapat memengaruhi seseorang terkena Parkinson. Oleh karena itu, perlu untuk terus mengontrol emosi pada diri kita sendiri dan menghindari hal-hal yang dapat memicu stres kita naik,” jelas dia.

Dokter spesialis saraf RS Siloam Kebon Jeruk, Frandy Susatia, menambahkan, penggunaan teknologi dapat dilakukan untuk membantu penderita parkinson. Menurut dia, saat ini sudah menjadi sebuah tren penggunaan wearable device seperti jam tangan yang dapat digunakan untuk membantu dalam mengatur kebutuhan seseorang dalam sehari-hari.

“Penggunaan jam tangan misalnya, dapat digunakan untuk mengontrol waktu tidur kita agar cukup untuk beristirahat, reminder dalam jadwal konsumsi obat, kinatometer yang dapat digunakan untuk menghitung seberapa banyak getaran yang dimiliki untuk membantu dalam kontrol keseharian penderita Parkinson,” jelas dia.

Selain penggunaan wearable device,Frandy juga menjelaskan sedikit mengenai Deep Brain Stimulation (DBS) yang memiliki fungsi utama untuk mencegah penderita Parkinson menjadi semakin parah. Menurut dia, penggunaan DBS dilakukan tahap awal seseorang menderita Parkinson agar penyakit tersebut tidak bertambah parah dan mencapai maksimal benefit dari alat tersebut.

“Jika DBS dilakukan pada pasien tingkat lanjut Parkinson, terdapat risiko tinggi dalam operasi, kualitas hidup pasien juga sudah menurun (tidak bisa bergerak, tidak bisa menelan),” tambah dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement