Senin 02 Sep 2013 17:43 WIB

Batik, Secarik Kain Sarat Pesan

Batik Cap motif Parang Klithik Colet Putih (ilustrasi)
Foto: 1
1

Shuniyya menyayangkan booming batik saat ini tak diikuti dengan apresiasi yang tinggi terhadap motif-motif batik lama. "Memang menggembirakan batik kini menjadi tuan rumah lagi di negeri sendiri, tapi kita kehilangan ruh dari batik itu sendiri," katanya.

 

Kini, katanya mulai muncul batik- batik yang digarap secara serampangan. "Asal kain dicanting, lalu disebut batik," kata wanita asal Weleri ini. Batik, katanya, sarat filosofi. "Dalam satu kain terdapat cerita, nasihat, pitutur, fatwa, filosofi , doa, dan harapan," ujar wanita kelahiran tahun 1982 ini. "Kalau yang sekarang kita lihat, lebih mengedepankan asal kain dicanting disebut batik. Jadi terdapat kemunduran dari makna batik itu sendiri."

Ia mencontohkan batik Semarangan. "Zaman dulu, batik mereka luar biasa indah sekali. Namun ketika hari ini kita datang ke Semarang, lalu cari batik Semarangan, yang sebagus zaman dulu tak ada lagi, karena yang muncul batik kon- temporer motif lawang sewu, tugu muda. Bukan batik Semarangan," katanya. Meski menurut dia booming batik layak diapreasiasi.

"Mestinya menjadi per hatian siapa saja untuk membenahi dan nguri-uri (melestarikan). Jangan sam pai motif-motif lama hilang begitu saja," katanya. Bersaing dengan batik printing Di sisi lain, booming batik juga `di boncengi beberapa pihak yang ingin ikut ambil untung dengan membuat batik printing.

Banyak motif-motif lama yang dibuat versi printing, yaitu kain dengan bantuan mesin, bukan dibatik dengan canting, dibuat menjadi seolah-olah batik.  "Kita tahu bahwa printing itu bukan batik. Tapi kain yang diberi motif batik," katanya.

Shuniyya menyatakan tak ada yang salah dengan motif batik tulis yang dijadikan printing, asal disosialisasikan dengan baik bahwa kain batik printing bu kanlah batik. "Apalagi batik tulis harganya memang mahal bagi sebagian orang," katanya.

Pendapat yang sama ditekankan pemulia batik asal Surabaya, Noorlailie Soewarnno Tjahjadi. "Tak masalah asal disosialisasikan. Yang jadi masalah adalah jika printing dijual dan dibilang sebagai batik cap apalagi tulis," katanya.

Menurut dia demi mengenalkan batik pada generasi muda, batik printing tak masalah. Meski tetap harus disosialisasikan juga pada mereka bahwa batik itu bukan sekadar motif, melainnya keseluruhan, mulai dari motif hingga proses pembuatannya.

Lely, pangilan akrab wanita ini, mengapresiasi tingginya minat masyarakat untuk mencintai batik. "Dulu, mana ada anak muda mau memakai batik. Konotasi Batik adalah untuk orang tua atau pergi kondangan," kata dosen di Universitas Airlangga yang sehari-hari mengenakan kain panjang batik ini.

Batik baginya adalah karya adilihung bangsa. Ia mencotohkan wanita India yang bangga mengenakan sari sebagai busana mereka sehari-hari. "Sudah selayaknya kita menjaga warisan bangsa ini dan bangga mengenakannya," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement