Selasa 03 Jul 2012 09:04 WIB

Bila Buah Hati Terkena Kanker

Rep: reiny dwinanda/ Red: Endah Hapsari
Kegiatan Melukis Pasien Kanker Anak Dharmais. (Republika/Prayogi)
Kegiatan Melukis Pasien Kanker Anak Dharmais. (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, Kanker memang tak mengenal usia. Di Indonesia, retinoblastoma dan leukemia termasuk kanker yang paling banyak diderita anak. Ketika diagnosis sudah ditegakkan, bagaimana cara terbaik meresponsnya?

Psikolog Indria Laksmi Gamayanti mengajak orang tua untuk segera memulihkan mentalnya. Kekhawatiran berlebih bisa berdampak pada mental anak. “Sebaiknya, cari tahu sebanyak mungkin tentang kanker, pahami kondisi berikut rencana terapinya, dan bergaullah dengan orang tua survivor kanker anak untuk belajar dari peng alaman mereka,” sarannya.

Keluar dari keterpurukan mental bukan hal mudah. Gamayanti meng imbau orang tua untuk bertawakal dan percaya pada kehendak-Nya. “Sudah banyak studi yang membuktikan kekuatan doa.”

Pada anak usia sekolah, terapi kanker kerap membuat mereka harus izin untuk beberapa saat. Di lain sisi, terus bersekolah membuat optimisme terhadap kesembuhannya menjadi lebih besar. Mereka akan lebih termotivasi, terpercik keberaniannya untuk melawan kanker. “Untuk melindungi hak anak, tenaga kesehatan, guru, dan orang tua mesti bekerja sama sebagai tim yang solid,” urai psikolog di Bagian Tumbuh Kembang Anak RSUP dr Sardjito, Yogyakarta.

Tips itulah yang diterapkan orang tua Suci Nanda Nur Syahputri ber tahun silam. Di usia 13 bulan, ia ter kena tumor wilms yang mengganggu fungsi ginjalnya. “Seiring bertambahnya usia, saya mulai mempertanyakan mengapa harus cek darah berkala,” kata gadis berusia 20 tahun ini.

Di usia SD, Suci mulai memahami ia kehilangan satu ginjal akibat serangan kanker. Hidup dengan satu ginjal mendatangkan konsekuensi tersendiri. Ia harus banyak minum, menjauhi mi instan, dan tidak sembarang me ngonsumsi obat ataupun suplemen. Di kesehariannya, Suci gampang letih. “Gara-gara mudah capek, saya sempat dikira anak manja oleh teman-teman,” kenangnya.

Memasuki masa praremaja, tepatnya di usia 13 tahun, sang ayah memperkenalkan Suci dengan perkumpulan survivor kanker anak. Setelah berinteraksi dengan teman senasib, ia mampu mengadvokasi diri. Di tahap awal, peran bunda sangat besar. Ibu memulai dengan memberi penjelasan tentang kanker ke teman dekat anandanya. “Mereka kini ikut menjaga saya, mengingatkan harus banyak minum dan tak melakukan kegiatan berlebih,” ujar aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta ini.

Suci kini sudah lebih piawai menakar dosis aktivitasnya. Ia juga sudah memikirkan karier masa depannya. Jenis pekerjaan yang akan dilakoninya tak boleh yang menguras energi. “Saya mulai merintis bisnis online,” ucap pemilik akun Chindashop di Facebook ini.

Anak berhak mengetahui penyakit yang dideritanya. Kemauan untuk sembuh sangat penting untuk dimiliki. Semangat untuk menggempur sel-sel liar itu juga mesti besar pada orang tua. “Orang tua yang putus asa, yang mengira anaknya akan segera berpulang hanya bakal menyurutkan mental anak,” komentar Prof Dr dr Iskandar Wahidayat SpA(K) selaku ketua umum panitia International Confederation of Childhood Cancer Parent Organizations (ICCCPO) Meeting Asia menjawab Republika.

Bagaimana cara menjelaskan kanker pada anak? Langkah awal, cobalah menggali pemahamannya. “Lalu, luruskan pemahamannya de ngan memberikan informasi yang disesuaikan dengan usianya,” saran Dr Edi Setiawan Tehuteru SpA dari Departemen Onkologi Anak RS Dharmais, Jakarta.

Di ruang praktiknya, Edi sering memanfaatkan alat bantu berupa buku cerita untuk memberi penjelasan tentang kanker pada anak. Ia juga membuat dongeng dengan lakon anak pejuang kanker. “Ada musuh yang harus dilawan oleh Kemo Man,” kata Edi mencontohkan manfaat kemoterapi bagi pasien ciliknya.

Kanker juga kerap mendatangkan bayangan akan kematian pada anak. Kekhawatiran mereka terhadap kematian perlu diredakan. “Ketika saya tanyakan, seorang anak pengidap kanker yang masih berusia dua tahun mengatakan dia takut meninggal karena harus dikubur dan nanti ada cacing yang menghampirinya,” papar Edi.

Edi kemudian menceritakan mati itu seperti tidur. Ini berarti ketika meninggal, anak tak akan merasakan apa pun. “Sama saja ketika dokter datang saat ananda sedang tidur, apakah ananda tahu dokter masuk ke kamar?” tanya Edi kepada si kecil yang sedang gelisah.

Orang tua, lanjut Edi, juga harus membangun sikap mental yang positif, terlebih di masa kanker tak lagi bisa ditumpas. Itu akan sangat bermanfaat bagi kualitas hidup anak yang berada di tahap paliatif. “Jika Tuhan kelak memanggil anandanya, prosesnya tidak membuat anak menderita dan orang tua pun tidak mengenangnya sebagai peristiwa yang traumatis,” tutur Edi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement