REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) menyatakan keputusan tidak memiliki anak atau childfree bukan isu utama yang dihadapi masyarakat Indonesia. Isu utamanya justru keterbatasan finansial hingga perumahan yang layak untuk mendukung keputusan memiliki banyak anak.
Berdasarkan laporan UNFPA, keterbatasan finansial menjadi alasan terbesar masyarakat Indonesia memutuskan memiliki anak lebih sedikit, yakni 39 persen, kemudian keterbatasan perumahan (22 persen), dan posisi pekerjaan yang rentan atau pengangguran (20 persen).
"Sebenarnya lebih dari 77 persen perempuan dan laki-laki di Indonesia itu ingin mempunyai banyak anak, tetapi, kita tengah menghadapi krisis fertilitas akibat kurangnya pilihan. Permasalahan utama masyarakat tidak bisa punya banyak anak, yang pertama yakni masalah ekonomi atau keterbatasan finansial," kata UNFPA Indonesia Representative Hassan Mohtashami, Kamis (3/7/2025).
UNFPA juga menemukan terdapat keterkaitan penurunan angka kelahiran dengan biaya hidup, kekhawatiran tentang masa depan, hingga ketimpangan gender, yang menyebabkan jutaan orang ingin punya anak tapi tidak bisa membangun keluarga ideal yang mereka inginkan. Untuk itu, menurut Hasan, pemerintah perlu meningkatkan pemenuhan hak-hak warga negara terkait perumahan yang layak, lapangan pekerjaan yang memadai, layanan fertilitas yang terjangkau, hingga lingkungan yang mendukung.
"Untuk meresponsnya, kita harus memenuhi apa yang dibutuhkan individu dalam membuat pilihan fertilitas mereka. Seperti cuti melahirkan, layanan fertilitas yang terjangkau, dan lingkungan yang mendukung," ujar dia.
Menurut dia, krisis fertilitas sesungguhnya bukanlah soal orang yang tidak ingin punya anak, melainkan banyak yang ingin punya anak tetapi tidak mampu. Data dari penelitian akademis baru dari survei oleh UNFPA/YouGov di 14 negara, yang menjadi tempat tinggal lebih dari sepertiga penduduk global termasuk Indonesia, menemukan bahwa 1 dari 5 orang secara global memperkirakan tidak akan memiliki jumlah anak yang mereka inginkan.
Ia juga menegaskan, negara harus memberi lebih banyak pilihan kepada perempuan untuk bebas menentukan ingin memiliki berapa anak selama masa reproduksinya, namun hal tersebut tentu dipengaruhi oleh konstruksi ekonomi dan sosial di lingkungan perempuan tersebut.
"Berapa banyak anak yang ingin dimiliki perempuan itu dipengaruhi oleh konstruksi ekonomi dan sosial. Krisis fertilitas itu terjadi karena salah satu pemicu utamanya adalah biaya membesarkan anak yang tinggi, ketidakstabilan pekerjaan, perumahan, kekhawatiran tentang situasi dunia, dan tidak adanya pasangan yang sesuai," tuturnya.
UNFPA juga mendorong pemberdayaan masyarakat agar dapat membuat keputusan reproduksi secara bebas. Termasuk dengan berinvestasi pada perumahan yang terjangkau, pekerjaan yang layak, cuti melahirkan, dan berbagai layanan kesehatan reproduksi serta informasi yang dapat diandalkan.