REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Musisi senior Ikang Fawzi berpendapat pembaruan sistem manajemen kolektif merupakan kunci untuk memastikan distribusi royalti berjalan adil dan transparan. Dia menekankan pentingnya digitalisasi dan penguatan peran Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) agar dapat mengatasi permasalahan yang ada.
“Misalnya kalau dari sisi LMK-nya, organisasinya sudah menerapkan digitalisasi, profesional, transparan harus kapan aja diaudit,” ujar Ikang pada Rabu (27/8/2025).
Menurut Ikang, sistem Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia saat ini masih memiliki celah. Ia menyoroti masalah pembagian royalti yang dinilainya belum adil, di mana terlalu banyak bagian yang masuk ke LMK.
“Belum, karena memang belum bisa (pembagian distribusi royalti) mencapai ke situ. Jadi memang aku sih berharap LMK jangan banyak-banyak, kalau bisa satu, benar-benar kredibel,” kata dia.
Dia berharap masalah ini bisa teratasi sehingga royalti dapat terbagi dengan baik dan tepat sasaran. Pelantun lagu “Preman” ini juga mengkritik terlalu mudahnya pendirian LMK di Indonesia yang berpotensi memicu ketidaktransparan dan ketidaktepatan sasaran dalam pembagian royalti.
Menurut Ikang, digitalisasi membutuhkan investasi besar, dan jika terlalu banyak LMK yang tidak memiliki sumber daya memadai, akan ada celah bagi pihak-pihak yang oportunis. “Digitalisasi itu investasinya besar banget, enggak semua LMK bisa membiayai itu. Jadi kalau makin banyak, makin orang yang jadi oportunis aja untuk cari-cari persennya jadi pembagiannya tidak transparan tidak tepat sasaran,” ujarnya.
Senada dengan Ikang, musisi sekaligus mantan pengawas LMKN, Candra Darusman, menilai bahwa peran LMKN harus diperkuat melalui digitalisasi. Menurutnya, digitalisasi adalah solusi untuk menjawab tantangan royalti musik saat ini, terutama untuk mengatasi tumpang tindih di lapangan.
“Memperkuat peran dari LMKN agar ia bisa tegas mengkoordinasi semua LMK agar tidak tumpang tindih karena masih ada tumpang tindih di lapangan,” ujar Candra.
Pendiri Pusat Studi Ekosistem Musik ini mencontohkan bagaimana penggunaan aplikasi digital untuk mengumpulkan royalti dari konser berhasil meningkatkan pendapatan hingga tiga kali lipat. Hal ini, menurutnya, membuktikan bahwa digitalisasi adalah solusi efektif.
“Misalnya untuk konser sekarang sudah ada aplikasinya, dan dengan aplikasi itu pengumpulan royalti dari konser naik tiga kali lipat. Jadi, ini menandakan bahwa memang digital itu solusi, tapi, mari kita sepakati digital yang seperti apa,” kata dia.
Meskipun demikian, Candra mengingatkan bahwa transformasi digital harus dilakukan secara bertahap dan hati-hati. “Kita siapkan perangkat digitalnya sambil ini perbaiki, suatu saat kita tinggalkan yang model sekarang kita masuk ke digital, tapi ini harus hati-hati,” ujarnya.
Harapan untuk perbaikan ini semakin terbuka dengan rencana DPR RI untuk merevisi Undang-Undang Hak Cipta. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa revisi tersebut akan diselesaikan dalam waktu dua bulan, dan akan berfokus pada penyelesaian polemik pembagian royalti.
Nantinya, delegasi penarikan royalti akan dipusatkan pada LMKN, yang sebelumnya dilakukan oleh LMK. Untuk memastikan RUU ini mengakomodasi semua pihak, DPR juga akan melibatkan musisi, pencipta lagu, penyanyi, dan LMK sebagai tim perumus, menandakan komitmen pemerintah untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan transparan bagi seluruh pelaku industri musik.