REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Festival Film Cannes 2025 mendapat sorotan, kali ini bukan oleh film-film peraih penghargaan, melainkan oleh kehadiran Julian Assange yang tampil dengan pesan kemanusiaan yang mendalam. Pendiri WikiLeaks muncul secara mengejutkan. Dia memamerkan kaus putih yang dikenakannya.
Ini bukan kaus biasa. Di bagian belakang, tertera tulisan tebal "Stop Israel", sebuah kritik langsung dan terang-terangan terhadap kebijakan Israel. Namun, yang jauh lebih menggetarkan adalah bagian depannya. Kaus tersebut dipenuhi dengan nama 4.986 anak-anak Palestina berumur lima tahun ke bawah yang gugur akibat serangan Israel di Gaza.
Gestur ini bukan sekadar fashion statement, melainkan sebuah pernyataan politik dan kemanusiaan yang mendalam. Di tengah gemerlap Cannes, Assange memilih untuk menyoroti tragedi yang menimpa warga sipil di Gaza, khususnya anak-anak.
Kemunculannya di Cannes, setelah pembebasannya dari penjara Inggris, menandai babak baru dalam hidupnya dan juga kesempatan untuk kembali menyuarakan isu-isu global yang selama ini menjadi fokus perjuangannya. Meski demikian, Julian Assange, yang kini berusia 53 tahun, memilih untuk tidak berbicara secara publik di Cannes. "Dia akan berbicara saat dia siap," kata, Stella Assange, dilansir laman France24.com yang mengutip AFP.
Stella mengungkapkan kepada AFP bahwa suaminya telah pulih secara fisik dan mental. "Kami hidup dengan alam yang luar biasa di dekat kami (di Australia). Julian sangat suka kegiatan di luar ruangan. Dia selalu begitu. Dia benar-benar pulih secara fisik dan mental," ujarnya.
Pemulihan ini menjadi kabar baik bagi para pendukungnya yang telah lama mengkhawatirkan kondisi kesehatan Julian setelah bertahun-tahun dalam tahanan. Kehadiran Julian di Cannes juga bertujuan untuk mempromosikan film dokumenter The Six Billion Dollar Man karya sutradara Amerika, Eugene Jarecki. Film ini digarap untuk mengoreksi narasi yang beredar tentang Assange, sosok yang metode dan kepribadiannya sering kali memecah belah opini publik.
Jarecki berpendapat bahwa Julian mengambil risiko besar demi prinsip menginformasikan publik tentang apa yang dilakukan oleh korporasi dan pemerintah di seluruh dunia secara rahasia. "Saya pikir Julian Assange menempatkan dirinya dalam bahaya demi prinsip menginformasikan publik tentang apa yang dilakukan oleh korporasi dan pemerintah di seluruh dunia secara rahasia," kata Jarecki.
"Siapa pun yang bersedia menukarkan tahun-tahun hidup mereka demi prinsip-prinsip mereka, saya pikir Anda harus melihat orang itu sebagai memiliki kualitas heroik," kata dia lagi.
Film ini menampilkan rekaman yang belum pernah terlihat sebelumnya, termasuk video pribadi yang diserahkan oleh Stella yang juga merupakan pengacara WikiLeaks.
Film ini menghadirkan kesaksian dari orang-orang yang disebut ikut memata-matai Julian, termasuk informan FBI Islandia dan agen keamanan swasta yang mengaku memasang alat penyadap yang diakses oleh dinas keamanan AS di kedutaan Ekuador. Mantan presiden kiri Ekuador, Rafael Correa, yang menawarkan suaka politik kepada Julian di kedutaan Ekuador di London, juga menghadiri pemutaran film pada Rabu lalu. "Saya percaya kami berada di sisi yang benar dari sejarah," kata Correa.
Film ini disebut berusaha untuk mengatasi kritik terhadap Julian, terutama klaim bahwa ia membahayakan nyawa dengan menerbitkan dokumen AS yang tidak disunting yang mencakup nama-nama orang yang telah berbicara dengan diplomat atau mata-mata Amerika. Film ini menampilkan tokoh-tokoh yang mendukung secara ekstensif, sementara memberikan sedikit waktu untuk pandangan yang menentang. Aktris "Baywatch" dan teman Julian, Pamela Anderson, muncul dalam film, begitu pula whistleblower Amerika Edward Snowden, dan mantan menteri kiri Yunani Yanis Varifakis yang membandingkan pendiri WikiLeaks dengan dewa Yunani Prometheus.
Salah satu poin kontroversial dalam film adalah klaim bahwa publikasi 251 ribu kabel diplomatik AS oleh WikiLeaks pada 2011 disebabkan oleh jurnalis investigasi veteran Inggris, David Leigh, dengan tuduhan bahwa ia menerbitkan kata sandi untuk mengakses basis data tersebut. Leigh, yang berkolaborasi dengan Julian saat bekerja di surat kabar Guardian, mengatakan kepada AFP bahwa ia tidak pernah dihubungi oleh Jarecki.
Jarecki juga menepis hubungan antara WikiLeaks dan dinas intelijen Rusia atas kebocoran email Partai Demokrat menjelang pemilihan presiden AS 2016 yang mempermalukan kandidat Demokrat Hillary Clinton. Investigasi oleh penasihat khusus AS Robert Mueller, yang menyelidiki dugaan campur tangan Rusia dalam pemilu 2016, menemukan bukti bahwa intelijen militer Rusia meretas Partai Demokrat dan menyampaikan informasi tersebut kepada WikiLeaks.