Selasa 13 Aug 2024 10:57 WIB

Terungkap Mengapa Gawai Membuat Anak Gampang Tantrum, Ini Hasil Penelitian Terbaru

Studi ini memberikan gambaran yang memprihatinkan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Satria K Yudha
Anak bermain dengan gawai (ilustrasi). Penelitian terbaru mengungkap penggunaan gawai berlebih picu tantrum pada anak.
Foto: Flickr
Anak bermain dengan gawai (ilustrasi). Penelitian terbaru mengungkap penggunaan gawai berlebih picu tantrum pada anak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebuah penelitian terbaru mengidentifikasi hubungan yang mengkhawatirkan antara penggunaan tablet pada anak usia dini dan meningkatnya kecenderungan tantrum atau ledakan emosi. Temuan yang dilakukan oleh para peneliti di Universite de Sherbrooke Kanada ini menantang asumsi kita tentang peran teknologi dalam perkembangan anak.

Dipimpin oleh Caroline Fitzpatrick, studi ini memberikan gambaran yang memprihatinkan tentang bagaimana anak usia dini terpengaruh oleh waktu penggunaan layar. Dengan banyaknya atau bahkan sebagian besar anak usia 4 tahun yang kini memiliki perangkat seluler sendiri dan anak-anak prasekolah yang menghabiskan waktu rata-rata hampir satu jam sehari dengan tablet, temuan penelitian ini menjadi lebih relevan dari sebelumnya.

Tetapi mengapa tablet begitu memikat bagi anak-anak kecil? Tidak seperti mainan tradisional, tablet menawarkan kepuasan instan yang luar biasa. Hanya dengan mengetuk atau mengusap layar, anak-anak dapat mengakses dunia animasi penuh warna, permainan interaktif, dan video yang menarik.

Taman bermain digital ini tidak hanya menarik, tetapi juga sangat portabel, yang berarti waktu bermain di depan layar dapat dengan mudah merembes ke dalam berbagai aspek rutinitas harian anak, mulai dari waktu makan hingga naik mobil.

Masalahnya, menurut para peneliti, peningkatan penggunaan tablet ini mungkin akan mengorbankan perkembangan emosional yang penting. Tahun-tahun prasekolah adalah masa yang penting bagi anak-anak untuk belajar mengelola emosi mereka, terutama dalam hal mengatasi kemarahan dan frustasi.

Secara tradisional, anak-anak mengasah keterampilan ini melalui interaksi tatap muka dengan pengasuh dan teman sebaya, serta melalui permainan yang tidak terstruktur. Namun, waktu yang dihabiskan untuk menatap layar adalah waktu yang tidak dihabiskan untuk terlibat dalam kegiatan perkembangan yang vital ini.

“Anggaplah pengaturan emosi seperti otot yang membutuhkan latihan rutin untuk tumbuh kuat. Setiap kali seorang anak menghadapi frustasi kecil seperti menunggu giliran bermain dan belajar mengatasinya, mereka melenturkan otot emosional tersebut. Tapi jika tablet terus digunakan untuk mengalihkan perhatian atau menenangkan anak pada saat ia merasa tertekan, ia akan kehilangan kesempatan ‘berolahraga’ yang penting ini,” kata Caroline Fitzpatrick seperti dilansir Study Finds, Selasa (13/8/2024).

Temuan penelitian ini menunjukkan siklus yang mengkhawatirkan. Peningkatan penggunaan tablet pada usia 3,5 tahun dikaitkan dengan ekspresi kemarahan dan frustasi yang lebih sering terjadi setahun kemudian.

Kemudian, ketika anak-anak ini menjadi lebih rentan terhadap ledakan emosi pada usia 4,5 tahun, mereka lebih mungkin diberikan tablet, mungkin sebagai cara untuk mengelola perilaku mereka. Hal ini menciptakan lingkaran umpan balik di mana tablet berkontribusi dan digunakan untuk mengatasi masalah pengaturan emosi.

Bagi para orang tua, hasil ini mungkin terasa seperti dilema digital. Di satu sisi, tablet dapat menjadi alat yang sangat berguna untuk menyediakan konten edukasi bagi anak. Di sisi lain, jika digunakan secara berlebihan, tablet bisa jadi menghambat pertumbuhan emosional anak.

Lantas apa yang harus dilakukan orang tua? Caroline Fitzpatrick menyarankan agar orang tua lebih bijak dalam waktu penggunaan tablet pada anak. Orang tua juga dianjurkan untuk melibatkan anak-anak dalam kegiatan yang mendorong regulasi emosi, seperti membaca bersama atau olahraga, yang bisa lebih bermanfaat dalam jangka panjang.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement