Senin 21 Aug 2023 22:38 WIB

Orang Tua Disarankan tak Hindari Konflik dengan Anak, Ini Alasannya

Menurut psikolog, konflik dengan anak tak perlu dihindari orang tua.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Qommarria Rostanti
Anak berkonflik dengan orang tua (ilustrasi). Menurut psikolog, orang tua tak perlu menghindari konflik dengan anak.
Foto: www.freepik.com
Anak berkonflik dengan orang tua (ilustrasi). Menurut psikolog, orang tua tak perlu menghindari konflik dengan anak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian orang tua menganggap konflik dengan anak sebisa mungkin jangan sampai terjadi. Padahal, menurut psikolog anak dan keluarga Saskhya Aulia Prima, konflik itu tak perlu dihindari dan merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh anak.

"Konflik anak dan orang tua adalah pintu pertama anak belajar untuk menyelesaikan konflik di luar," kata Saskhya pada konferensi pers virtual peluncuran buku Induk Macan karya praktisi parenting Krista Endinda yang digelar Senin (21/8/2023).

Baca Juga

Saskhya yang merupakan salah satu pendiri lembaga psikologi Tiga Generasi itu menyoroti efek buruk jika anak tidak pernah berkonflik di rumah. Akibatnya, anak menjadi tidak terlatih saat harus benar-benar menghadapi konflik di dunia luar, yang bisa jadi jauh lebih keras.

Penggagas pusat aktivitas anak Lightbeam Education itu mencontohkan, ada salah satu pasiennya yang terguncang hingga tak mau masuk sekolah selama sebulan setelah guru di sekolahnya menggebrak meja. Padahal, itu mungkin dianggap biasa oleh anak lain.

Namun, karena anak yang menjadi pasien Saskhya tak pernah menghadapi konflik di rumah, dia menjadi takut berlebihan. Sementara, orang tua tak bisa menjamin dunia luar akan selalu baik-baik saja. Karena itu, konflik sesekali di rumah yang tak berlebihan dan tak membahayakan, termasuk interaksi natural.

Usai berkonflik, orang tua dapat melakukan refleksi mengenai apa yang sebenarnya dibutuhkan dalam keluarga. Hal itu membuat keluarga berkembang dan akan terus belajar. Ayah dan ibu juga dapat meninjau kembali, apa tujuan mereka membesarkan anak dan dengan cara apa.

Terkait gaya pengasuhan yang diterapkan, Saskhya menyarankan tak perlu memusingkan klasifikasi atau kategori tertentu. Dia berpendapat sudah banyak orang tua Indonesia yang terbuka pada gaya pengasuhan ala Barat, tapi pengasuhan sesuai budaya sendiri juga perlu tetap dipertahankan.

Misalnya, membiasakan hal baik yang sesuai budaya Indonesia, seperti adab bicara dan interaksi dengan orang yang lebih tua, senyum, sopan santun, gotong royong, kepekaan terhadap kondisi sosial, dan masih banyak lagi. Orang tua dengan anak remaja punya pe-er lebih, di tengah gempuran berbagai gagasan di media sosial.

Menyiasati itu, Saskhya menyarankan orang tua yang punya anak remaja untuk mendekatkan diri terhadap hal-hal yang disukai dan sering diakses anak. Jika perlu, aktiflah di media sosial dan ikuti perkembangan topik apa pun yang sedang hype atau langsung tanyakan pada anak tentang itu.

"Kalau anak ngomong yang enggak sesuai dan kita kaget, gentle parenting bermain di situ. Validasi dulu, baru tanyakan pelan-pelan. Jadilah tempat kembali yang nyaman untuk anak. Jangan sampai anak punya 'Mami AI' (orang tua kecerdasan buatan)," kata Saskhya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement