REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekebalan tubuh yang spesifik terhadap virus dan bakteri tertentu dinilai hanya bisa dicapai dengan imunisasi yang harus dilengkapi anak dari bayi hingga usia sekolah. Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Dr dr Soedjatmiko SpA (K) M Si mengatakan, penelitian di beberapa negara membuktikan bahwa imunisasi penting karena balita dan murid sekolah rentan terinfeksi penyakit menular.
“Yang praktis, sudah terbukti di banyak negara adalah dengan imunisasi, gratis di fasilitas kesehatan pemerintah tinggal datang,” kata Prof Miko dalam webinar tentang ajakan imunisasi untuk mencegah penyakit berat yang diikuti di Jakarta, Selasa (21/5/2024).
Pada bayi dan balita, kekebalan tubuhnya belum sempurna sepenuhnya, sementara di sekolah banyaknya anak murid yang bercampur di satu area dan bertemu setiap hari sehingga meningkatkan risiko tertular penyakit, sakit berat, cacat hingga meninggal. Dengan melakukan imunisasi, kekebalan tubuh akan terjaga dan terhindar dari penyakit spesifik hanya dalam hitungan 2 pekan setelah pemberian imunisasi. Sementara jika hanya mengonsumsi ASI, makanan bergizi, madu, herbal ataupun berolahraga hanya untuk penyembuhan dan seringkali tidak efektif karena bersifat mandiri.
“Herbal madu segala macam itu penyembuhan dan pencegahan itu harus mandiri masing-masing jadi nggak efisien dan kurang efektif,” ucap Prof Miko.
“Imunisasi dapat mematikan virus dan bakteri spesifik tertentu, kalo ASI, herbal, madu nggak bisa dia, nggak punya kekebalan fisik, sehingga semua negara tetap melakukan imunisasi rutin,” ujarnya.
Anggota Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia ini mengatakan berdasarkan survei Kementerian Kesehatan tahun 2023, imunisasi anak tidak lengkap karena 31-50 persen orang tua atau keluarga yang tidak mengizinkan anak di imunisasi. Selain itu, orang tua juga masih belum memahami bahaya penyakit yang ditimbulkan bila tidak imunisasi.
Ada juga yang beralasan ragu dengan keamanan imunisasi dan khawatir akan efek samping imunisasi atau KIPI (kejadian ikutan pasca imunisasi) sekitar 31,2-47,3 persen. Sementara pada survei UNICEF tahun 2023 di lima kota besar Indonesia menyebutkan 37,7 persen masyarakat takut anaknya diimunisasi ganda atau 2-3 dosis dalam sekali kedatangan.
“Sebab utamanya tidak memahami bahaya penyakit, lebih memikirkan takut KIPI, imunisasi ganda, padahal bahaya penyakitnya jauh lebih besar daripada imunisasi ganda, banyak yang tidak tahu di rumah sakit banyak anak yang sakit berat dan meninggal,” katanya.
Prof Miko juga mengatakan agar orang tua hingga seluruh keluarga dan pihak sekolah dapat mendukung pemenuhan imunisasi anak agar tepat waktu dan lengkap, sehingga anak bisa terhindar dari penyakit berat, cacat hingga meninggal. Ia juga mengatakan perlu kesadaran semua pihak mengenai manfaat imunisasi dan petugas kesehatan harus bisa memberikan informasi yang jelas kepada orang tua tentang manfaat imunisasi dan dapat mencegah berbagai macam penyakit yang bisa mengancam nyawa anak.