Selasa 16 Apr 2024 20:46 WIB

Merokok Tinggalkan 'Bekas Luka' pada Sistem Kekebalan Tubuh

Merokok mengubah respons imun jangka pendek dan jangka panjang.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Qommarria Rostanti
Berhenti merokok (ilustrasi). Para peneliti menemukan bahwa merokok mengganggu respons imun bawaan dan adaptif pada beberapa kondisi stimulasi, membuat semacam bekas luka pada sistem imun.
Foto: Boldsky
Berhenti merokok (ilustrasi). Para peneliti menemukan bahwa merokok mengganggu respons imun bawaan dan adaptif pada beberapa kondisi stimulasi, membuat semacam bekas luka pada sistem imun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada efek yang tertinggal pada sistem kekebalan tubuh meski seseorang telah berhenti merokok. Dalam sebuah makalah yang diterbitkan di Nature, para peneliti dari Institut Pasteur mengungkapkan, merokok meninggalkan tanda epigenetik pada DNA dan berdampak pada kekebalan adaptif.

Salah satu penulis studi, Darragh Duffy, menyampaikan kebiasaan merokok telah diketahui meluas bisa membuat seseorang berisiko terkena kanker. Lebih dari itu, dia dan timnya berusaha mengeksplorasi dampak negatif merokok pada respons imun.

Baca Juga

"Ini merupakan efek jangka panjang, dan juga merupakan efek akumulatif," kata Duffy yang merupakan ahli imunologi di Institut Pasteur, seperti dikutip dari laman The Scientist, Selasa (16/4/2024). 

Para peneliti menemukan bahwa merokok mengganggu respons imun bawaan dan adaptif pada beberapa kondisi stimulasi, membuat semacam "bekas luka" pada sistem imun. Hal itu juga dibuktikan dengan peningkatan kadar sitokin pada perokok dibandingkan dengan individu yang tidak pernah merokok.

Sitokin adalah senyawa kimia yang menjadi sarana komunikasi antar sel-sel terkait dalam sistem imun. Sementara, respons imun adaptif merupakan pasukan sel kekebalan khusus yang memberikan perlindungan jangka panjang serta perlindungan abadi dari serangan infeksi berulang.

Untuk melakukan simulasi skenario infeksi di laboratorium, tim peneliti secara sistematis memaparkan sampel darah lengkap donor ke berbagai kondisi stimulasi kekebalan yang menangkap sejumlah agen penginduksi sel kekebalan, termasuk mikroba dan virus. Para peneliti mengukur produksi sitokin terkait penyakit setelah paparan terhadap kondisi stimulasi yang menargetkan sistem kekebalan bawaan, jaringan respons terprogram yang dengan cepat menangani infeksi baru. Untuk memilih faktor-faktor yang memiliki hubungan kuat dengan fenotip imun spesifik, hasil kuesioner kesehatan peserta dikompilasikan dengan variabel sosio-demografis, lingkungan, klinis, dan nutrisi.  

Saat dampak terhadap produksi sitokin pada setiap tantangan imun diukur, ada tiga variabel yang berpengaruh besar, yakni indeks massa tubuh, infeksi laten sitomegalovirus, dan merokok. Ketika tim melihat fenotip imun dari mantan perokok, profil imun bawaannya tampak serupa dengan non-perokok, namun respons imun adaptif serupa dengan perokok aktif.

Para penulis memutuskan untuk menggali lebih jauh data itu untuk mencari sel-sel yang mendorong efek merokok terhadap respons imun. Para peneliti memasukkan data aliran sitometri ke dalam analisis peserta, dan tidak ada subset sel spesifik yang muncul sebagai mediator respon imun bawaan. 

Namun, terdapat beberapa sel B serta sel T regulator yang merupakan kontributor utama terhadap efek jangka panjang merokok terhadap kekebalan tubuh. Duffy dan timnya telah memberikan bukti bahwa gen tersebut memediasi efek jangka panjang dari kebiasaan merokok terhadap sistem imun adaptif. 

Dengan kata lain, merokok mengubah respons imun jangka pendek dan jangka panjang, yang dibuktikan dengan peningkatan kadar sitokin, dan meninggalkan tanda epigenetik pada gen. "Waktu terbaik untuk berhenti merokok adalah sekarang," ujar Duffy.  

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement