REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberian sanksi dengan mengeluarkan anak dari sekolah dinilai bukan satu-satunya cara untuk mencegah bullying kembali terjadi di masa depan. Penyelesaian kasus pun tidak selesai sampai pemberian sanksi semata.
"Bagaimana pun kondisinya anak terlapor juga merupakan korban pada masa lalunya," ucap Inspektur Jenderal Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang usai bertemu dengan pihak Binus School Serpong, Tangerang, berdasarkan siaran pers, Selasa (27/2/2024).
Menurut Chatarina, pihak sekolah juga harus memastikan siswa tidak mendapatkan stigma ataupun perundungan untuk ke depannya. Ini berlaku bagi korban dan pelaku.
"Saya rasa mereka sudah mendapatkan konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan dengan proses hukum yang saat ini sedang berjalan," kata dia.
Chatarina menjelaskan anak yang menjadi terlapor dalam kasus bullying ini harus tetap mendapatkan hak pendidikan mereka hingga lulus SMA. Menurutnya, banyak dampak yang akan terjadi pada anak saat mereka menjalankan proses hukum.
Itu akan menjadi tantangan bagi semua pihak untuk dapat memastikan tidak ada kekerasan di satuan pendidikan dengan regulasi yang telah ada saat ini melalui Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP).
Dalam menyelesaikan problem, lanjut Chatarina, lihatlah dari berbagai perspektif, termasuk masalah perundungan atau bullying yang terjadi di satuan pendidikan. Bullying juga masuk dalam salah satu dari tiga dosa besar di dunia pendidikan, yakni kekerasan seksual, perundungan/kekerasan, dan intoleransi.
"Oleh karena itu, kita perlu memberikan perhatian khusus dalam kasus bullying ini, namun dengan tetap melihat dari perspektif kepentingan terbaik bagi anak," jelas Chatarina.