REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kementerian Kesehatan telah menetapkan KLB polio, buntut masuknya laporan terkait adanya anak di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menderita lumpuh layuh akut akibat virus polio tipe 2. Dokter spesialis anak Universitas Airlangga (Unair) Dominicus Husada menjelaskan, polio merupakan penyakit yang mendapatkan pengawasan khusus secara global.
Bahkan, kata dia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan prosedur tetap (Protap) secara internasional dalam menangani polio. "Status polio sudah KLB. Penanganannya dikendalikan WHO, ada Protap internasional, ada hitungan harinya," kata Dominicus, Sabtu (20/1/2024).
Kepala Divisi Penyakit Infeksi dan Tropis Anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Unair itu menambahkan, dalam dua tahun terakhir, kasus polio telah menyebar di Aceh, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur. Menurut Dominicus, penyebaran itu merupakan dampak dari penurunan imunisasi semasa pandemi Covid-19.
Sesuai prinsip imunisasi, lanjut Dominicus, jika imunisasi berhenti, maka penyakit akan datang kembali. Oleh karena itu, penurunan dan pemberhentian imunisasi berdampak pada munculnya penyakit yang tergolong PD3I (Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi).
"Jika kita hentikan imunisasi, maka penyakit akan datang kembali. Saat inilah kita menuai efeknya. Dimana hampir semua PD3I meningkat pada 2022-2023," ujarnya.
Dominicus menyebut, polio tidak memiliki antivirus sehingga menjadikan penyakit tersebut berbahaya. Pada penderita polio, otot akan mengalami kematian yang tidak bisa disembuhkan.
"Otot yang mati berusaha ditutup oleh otot di sekitarnya yang masih sehat. Namun, otot yang mati itu sendiri tidak bisa dihidupkan kembali," ucapnya.
Penatalaksanaan penderita polio hanya bisa dilaksanakan melalui rehabilitasi medis. Maka dari itu, sambung Domunicus, pencegahan adalah kunci. Salah satu cara untuk mencegah polio adalah imunisasi.
"Sejauh ini keberhasilan vaksin sangat baik. Akan tetapi, sebaik-baik imunisasi, ia hanya ciptaan manusia. Maka tidak mungkin membuat vaksin dengan perlindungan 100 persen, maksimal hanya 99,9 persen," kata dia.
Efektivitas imunisasi, lanjut Dominicus, juga bergantung pada syarat dan ketentuan yang telah terpenuhi, termasuk kondisi diri sang anak. Pada anak dengan gizi buruk misalnya, keberhasilan imunisasi akan menurun tajam.
"Pada anak gizi buruk misalnya, tentu keberhasilan imunisasi menurun tajam. Jadi, banyak faktor yang diperhitungkan dan tidak hanya vaksinasi yang dinilai lengkap," ujarnya.