Senin 11 Dec 2023 19:23 WIB

Tren 'Hahu Hoheng' Populer di Medsos, Pahami Bahayanya Sebelum Mengikutinya

Tanpa disadari, ada potensi bahaya dari tren hahu hoheng yang sedang viral.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Qommarria Rostanti
Tahu goreng (ilustrasi). Tren hahu goreng viral di media sosial. Tanpa disadari, ada bahaya di balik tren hahu hoheng.
Foto: Dok. Freepik
Tahu goreng (ilustrasi). Tren hahu goreng viral di media sosial. Tanpa disadari, ada bahaya di balik tren hahu hoheng.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengguna media sosial (medsos) saat ini tengah dihebohkan dengan tren kuliner terbaru yang diberi nama hahu hoheng. Hahu hoheng merupakan pelesetan dari tahu goreng. Disebut hahu goreng karena pengikut tren ini tidak mampu mengucapkan tahu goreng akibat rasa panas di lidah. Seperti apa trennya?

Tren ini melibatkan aktivitas menggoreng tahu atau pisang. Ketika tahu dan pisang matang, langsung diangkat dari penggorenga, dilumuri bumbu bubuk pedas, dan langsung dimakan panas-panas. Rasa ini dianggap menciptakan kombinasi rasa unik.

Baca Juga

Akun TikTok @hey_chand*** membagikan video yang memperlihatkan proses pembuatan dan konsumsi hahu hoheng. Dalam video tersebut, sang pembuat konten terlihat menggoreng tahu putih di atas minyak panas sambil menyiapkan cabai bubuk dalam sebuah mangkok. Ketika tahu matang, masih dalam kondisi panas dan berminyak, dia langsung mencelupkannya ke dalam bubuk cabai dan menyantapnya tanpa menunggu.

Tidak hanya di TikTok, tren ini juga merambah ke platform Youtube. Akun Mut*** Rapu*** membagikan video Shorts berjudul “HaHu Hoheng Emang Iya Sepanas dan Sepedas Itu” beberapa waktu lalu. Mut*** menjelaskan hahu hoheng adalah tahu yang digoreng dan dimakan dalam kondisi panas, kemudian dibalur dengan bubuk cabai. Efek pedas dari bubuk cabai membuat pengalaman menyantapnya menjadi lebih menantang, bahkan sampai membuat mulut terasa kebakar.

Bagi Anda yang ingin mengikuti tren ini, sebaiknya pikir ulang. Pasalnya sebuah penelitian baru yang diterbitkan dalam Journal of International Cancer mengungkapkan potensi bahaya dari kebiasaan tersebut. Studi ini menyoroti hubungan antara konsumsi minuman atau makanan panas dengan risiko kanker esofagus.

Penelitian ini menekankan pentingnya memahami suhu dari minuman atau makanan yang dikonsumsi. Ahli onkologi, dr Davendra Sohal, yang tidak terlibat dalam penelitian ini menyatakan bahwa paparan suhu panas selama bertahun-tahun dapat menjadi faktor risiko potensial untuk kanker esofagus. Meskipun penelitian lebih fokus pada minum teh, prinsipnya dapat diterapkan pada semua jenis makanan atau minuman panas.

"Suhu adalah faktor risiko terbesar," kata dr Sohal, dilansir Health Cleveland Clinic, Senin (11/12/2023).

Mengonsumsi makanan atau minuman yang terlalu panas dapat mengiritasi lapisan tenggorokan dan kerongkongan, yang menyebabkan cedera termal. Cedera ini, terutama jika terjadi berulang, dapat menyebabkan peradangan kronis dan meningkatkan risiko pembentukan sel kanker.

Meskipun kanker esofagus masih relatif langka, dr Sohal merekomendasikan kehati-hatian terhadap faktor risiko, termasuk penggunaan tembakau, konsumsi alkohol berlebihan, dan refluks asam yang parah atau persisten. Studi ini menunjukkan bahwa paparan terhadap cairan panas dapat ditambahkan ke dalam daftar ini.

Dr Sohal menegaskan, satu paparan tunggal terhadap makanan atau minuman panas biasanya tidak membawa banyak bahaya. Namun, jika terjadi sensasi terbakar yang tidak tertahankan, hindari minum air es dingin atau memuntahkan, karena dapat menyebabkan kerusakan lebih parah. Sebaliknya, minum air bersuhu ruangan mungkin menjadi solusi terbaik.

Studi ini menetapkan bahwa suhu di atas 60 derajat Celsius dianggap terlalu panas untuk dikonsumsi. Untuk memperbandingkan, suhu maksimum bak mandi air panas hanya mencapai 40 derajat Celsius. Meskipun temuan ini mengkhawatirkan, dr Sohal menekankan bahwa hasil penelitian ini menunjukkan perilaku ini dapat dimodifikasi.

Jadi, bagi mereka yang gemar menikmati minuman atau makanan panas, mungkin saatnya untuk mempertimbangkan untuk memberikan sedikit waktu terlebih dahulu untuk menghindari risiko potensial pada kesehatan esofagus.

Sumber: Cleveland Clinic

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement