REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendiri Narasi Najwa Shihab mengungkapkan sejumlah tantangan literasi di Indonesia. Salah satunya adalah kurangnya kemampuan anak dalam memahami suatu bacaan. Menurut dia, ini berawal dari lingkungan keluarga.
Najwa melihat sekarang banyak orang tua yang berlomba-lomba membuat anak-anak mereka bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Namun, mereka lupa bahwa kemampuan calistung saja ternyata tidak cukup.
Dia percaya fondasi utama dimulai dari keluarga. "Banyak orang tua yang tugasnya selesai ketika anak sudah bisa mengeja. Mereka mengutamakan calistung padahal bisa membaca dan suka membaca adalah dua hal yang sama sekali berbeda," kata perempuan yang akrab disapa Nana di acara Pesta Literasi Indonesia, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (1/9/2023).
Indonesia mendapat urutan nomor dua dalam hal kemampuan anak yang sudah bisa membaca. Namun, posisi itu merosot tajam dalam hal seberapa paham mereka atas buku yang mereka baca.
"Bukan hanya bisa mengeja kata demi kata tapi juga harus bisa menarik kesimpulan dari buku yang sudah dibaca dan mengakumulasikannya," ujarnya.
Tantangan literasi lain yang Nana temukan adalah pengaruh gawai dalam kehidupan sehari-hari. Dampak ini cukup terlihat, khususnya di kalangan anak muda.
Nana menyebut 78 persen anak muda menghabiskan waktu lebih dari dua jam sehari untuk mengonsumsi informasi di media sosial. Menurut dia, ini menjadi tantangan yang membuat masyarakat Indonesia jauh dari dunia perbukuan.
Sebab, media sosial menantang kapasitas manusia untuk menggunakan atensi. Dia khawatir kalau tidak cukup perhatian akan tidak memiliki empati.
"Terkadang saat teman curhat, kita malah sibuk scrolling Instagram, melihat update-an. Sekali lagi media sosial dan teknologi membuat attention spend kita semakin rendah. Makanya saya suka baca fiksi karena saya merasa fiksi itu membantu kita membantu melihat dari perspektif orang lain," kata dia.