REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidur yang tidak berkualitas kerap menimbulkan masalah. Sebuah studi baru telah mengaitkan tiga masalah tidur spesifik dengan risiko demensia.
Penggunaan obat tidur dan kemampuan untuk tertidur dengan cepat (sleep-initiation insomnia) dikaitkan dengan peningkatan risiko demensia selama periode 10 tahun, menurut para peneliti. Sedangkan, mengalami kesulitan tidur kembali setelah menunggu tidur (sleep-maintenance insomnia) datang terkait dengan pengurangan risiko demensia.
Temuan ini penting karena menjadi studi pertama yang menguji hubungan antara risiko demensia dan gangguan tidur jangka panjang pada sampel orang dewasa yang lebih tua di Amerika Serikat (AS). Kesimpulannya patut diperhatikan, cocok dengan penelitian yang menggunakan sampel lebih kecil.
"Setelah membaca literatur yang ada, saya terkejut melihat temuan tentang hubungan tidur-demensia. Jadi, saya memutuskan untuk menyelidiki topik ini," kata Roger Wong, ilmuwan kesehatan masyarakat di State University of New York Upstate Medical University, dikutip Science Alert.
Peneliti mengatakan, sleep-initiation insomnia dan sleep medication meningkatkan risiko demensia, tetapi mereka terkejut karena menemukan bahwa sleep-maintenance insomnia justru menurunkan risiko demensia.
Para peneliti melihat data satu dekade dari studi panel longitudinal yang disebut National Health and Aging Trends Study (NHATS), khususnya pada 6.284 orang dewasa di atas usia 65 tahun yang tinggal di komunitas. Mereka belum pernah didiagnosis menderita demensia pada saat masa studi dimulai.
Hubungan paling dramatis adalah dengan insomnia awal tidur pada mereka yang melaporkannya justru memiliki risiko demensia 51 persen lebih tinggi. Para peneliti mencatat peningkatan ini berkurang ketika faktor sosiodemografi dan kesehatan dipertimbangkan, tapi sampai pada titik itu, tidak lagi signifikan secara statistik.
Untuk penggunaan obat tidur, statistik menunjukkan peningkatan risiko demensia sebesar 30 persen (setelah sosiodemografi, tetapi sebelum penyesuaian kesehatan).
Di sisi lain, ada 40 persen penurunan risiko demensia, setelah variabel sosiodemografi dan kesehatan diperhitungkan untuk insomnia pemeliharaan tidur.
Angka terakhir itulah yang paling mengejutkan para peneliti. Tim tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak waktu terjaga dapat membuat fungsi kognitif terus berdetak, tanpa harus berdampak buruk pada kualitas tidur yang dilakukan sepanjang malam. Itu juga merupakan saran yang ada dalam penelitian sebelumnya.
"Dengan berfokus pada variasi gangguan tidur, temuan kami dapat membantu menginformasikan perubahan gaya hidup yang dapat mengurangi risiko demensia," kata Margaret Anne Lovier, mitra penelitian dari State University of New York Upstate Medical University.
Dengan sendirinya, penelitian yang telah dipublikasikan di American Journal of Preventive Medicine ini tidak cukup untuk membuktikan sebab dan akibat terkait masalah tidur menyebabkan demensia. Lebih dari itu juga menyoroti hubungan antara keduanya yang perlu diketahui oleh peneliti dan dokter. Perlu juga dicatat bahwa gangguan tidur umum terjadi pada orang yang menderita demensia dan orang tua.
Temuan ini dapat digunakan untuk menilai risiko demensia dengan lebih baik untuk orang dewasa yang lebih tua. Para peneliti juga menyerukan studi lebih lanjut tentang hubungan antara gangguan tidur dan jenis demensia tertentu, yang tidak dieksplorasi oleh penyelidikan ini. "Orang dewasa yang lebih tua kurang tidur karena berbagai macam kekhawatiran," kata Wong.