REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penetapan tersangka terhadap terapis menjepit kepala anak dengan autisme di sebuah rumah sakit di Depok, Jawa Barat dapat menjadi alarm kewaspadaan bagi orang tua. Lalu, bagaimana cara memilih tempat terapi yang tepat?
Menurut psikolog klinis anak Anita Chandra, anak memang sangat mungkin menangis saat di berada di tempat terapi. Hal ini bisa karena tidak nyaman dan sedang dalam proses adaptasi.
"Memang tidak mudah, tapi kalau empat sampai lima kali nangis, tiap kali datang dia nangis, berarti ada pengalamn traumatik, harus hati-hati," kata Anita kepada Republika.co.id, (Ahad 19/2/2023).
Anita menjelaskan satu hal yang pasti adalah terapi harus menyenangkan anak terlebih dulu. Anak harus betul-betul menikmati dalam mengikuti proses terapinya.
Terapis, menurut Anita, harus bisa melakukan pendekatan reinforcing atau memberikan penguatan yang positif, selain menyenangkan anak. Ada hal-hal yang memotivasi anak agar semangat terlibat dalam proses terapi.
Secara umum, terapi anak seharusnya demikian. Tetapi, di dalam proses belajar, sering kali ada isu trauma, anak sedih disuruh masuk belajar, isunya anak tidak mau patuh, tidak mau belajar.
"Itulah tugasnya terapis agar anaknya bisa belajar, pendekatan positif harus dipakai," ungkap Anita yang juga supervisor terapi.
Ada proses pairing atau mendekati, terapis harus bisa menciptakan suasana yang menyenangkan. Di awal-awal, terapis tidak bisa langsung memberi tugas, seperti "ayo buka mulut", dan sebagainya, kepada anak.