Selasa 18 Mar 2025 08:31 WIB

Medsos Disebut Jadi Tempat Berkembangnya Delusi dan Gangguan Psikologis

Studi ini mengungkap beberapa gangguan psikologis dari penggunaan medsos berlebihan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Media sosial (ilustrasi). Studi mengungkap beberapa gangguan psikologis yang sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial secara berlebih, cenderung melibatkan delusi.
Foto: Republika/Mardiah
Media sosial (ilustrasi). Studi mengungkap beberapa gangguan psikologis yang sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial secara berlebih, cenderung melibatkan delusi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Media sosial dinilai bukan hanya mengubah cara berkomunikasi, namun juga menjadi tempat berkembangnya delusi dan pola pikir menyimpang terutama pada pengguna rentan. Hal ini merujuk pada sebuah studi yang berjudul “I Tweet, Therefore I Am”.

Studi ini mengungkap beberapa gangguan psikologis yang sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial secara berlebih, cenderung melibatkan delusi. Gangguan psikologis itu termasuk narsisme (kepercayaan berlebih akan keunggulan diri), dismorfia tubuh (terobsesi dengan kekurangan fisik yang dibayangkan), anoreksia (selalu merasa gendut meskipun dirinya sangat kurus), dan erotomania (keyakinan keliru bahwa seseorang diam-diam mencintai mereka).

Baca Juga

“Media sosial menciptakan lingkungan yang mendukung munculnya keyakinan yang keliru ini. Dalam model yang kami buat, terungkap bahwa interaksi digital memungkinkan delusi berkembang tanpa terkendali,” kata para peneliti dari Simon Fraser University, Nancy Yang dan Bernard Crespi seperti dilansir laman Study Finds, Selasa (18/3/2025).

Peneliti menjelaskan bagaimana media sosial memperburuk delusi. Di dunia nyata, interaksi sosial memberikan umpan balik yang membantu seseorang tetap berpijak pada kenyataan. Namun di media sosial, individu bisa menciptakan identitas yang sepenuhnya dikendalikan dengan menggunakan filter foto, membentuk persona ideal, atau bahkan menghapus akun dan memulai kembali dengan identitas baru.

“Lingkungan ini sangat berisiko bagi mereka yang sudah memiliki kecenderungan berpikir delusional. Algoritma media sosial media sosial yang menampilkan konten berdasarkan preferensi pengguna bisa memperburuk gangguan psikologis,” kata peneliti.

Studi ini juga menemukan beberapa kelompok yang lebih rentan mengalami dampak negatif dari media sosial. Kelompok pertama adalah individu dengan narsisme, yang cenderung mencari validasi dari jumlah pengikut, likes, dan komentar yang mereka terima.

Penderita gangguan dismorfik tubuh juga termasuk kelompok rentan, karena mereka sering membandingkan kekurangan diri dengan standar kecantikan yang tidak realistis di media sosial.

“Kelompok rentan lainnya adalah mereka yang mengalami gangguan makan. Mereka semakin terpapar standar tubuh ideal yang tidak sehat di platform berbasis visual,” kata peneliti.

Menariknya, penelitian ini menemukan bahwa individu dengan gangguan spektrum autisme justru lebih jarang menggunakan media sosial dibanding kelompok lainnya. Jika mereka menggunakannya, biasanya bukan untuk bersosialisasi, melainkan untuk mengeksplorasi minat khusus.

Studi ini menyimpulkan bahwa narsisme, dismorfia tubuh, gangguan makan dan erotomania memiliki kesamaan mendasar yakni semuanya memiliki ciri yang sama. Semuanya melibatkan delusi tentang diri sendiri, persepsi realitas yang berubah, dan isolasi sosial.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement