Senin 06 Feb 2023 04:33 WIB

Terbiasa Puasa Intermiten, Orang Berisiko Binge-Eating Kemudian Hari

Puasa intermiten tampak memengaruhi kebiasaan makan sehat di masa depan.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Reiny Dwinanda
Perempuan menyantap makanan dengan rasa bersalah (ilustrasi). Puasa intermiten tampaknya dapat memicu orang menjadi binge-eating di masa depan.
Foto: www.freepik.com.
Perempuan menyantap makanan dengan rasa bersalah (ilustrasi). Puasa intermiten tampaknya dapat memicu orang menjadi binge-eating di masa depan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa intermiten alias intermitten fasting telah menjadi strategi penurunan berat badan yang populer selama dekade terakhir. Namun, sebuah studi baru dari Texas A&M University yang diterbitkan dalam jurnal Appetite menunjukkan bahwa hal itu dapat meningkatkan risiko binge-eating dan gangguan makanan lainnya kemudian hari.

Binge-eating berarti menyantap makanan dalam porsi besar secara teratur dalam waktu singkat sampai merasa begah. Penulis studi, Jordan Schueler yang merupakan kandidat PhD di Departemen Ilmu Psikologi dan Otak di Texas A&M, mulai mengembangkan studi baru pada 2019.

Baca Juga

Schueler mengatakan bahwa tidak banyak informasi tentang efek psikologis puasa intermiten. Namun, ada dampaknya pada hasil medis, seperti berat badan dan kolesterol.

"Saya tertarik untuk melihat apakah bentuk khusus dari diet terbatas waktu ini, di mana orang mungkin mengabaikan isyarat lapar untuk waktu yang lama, juga dapat menyebabkan makan berlebihan," ujar Schueler, dilansir Fox News, Ahad (5/2/2023).

Ada beberapa jenis puasa berkala. Tetapi semuanya mengikuti konsep yang sama, yaitu bergantian antara puasa dan makan.

Dengan pendekatan makan yang dibatasi waktu, pelaku diet hanya bisa mengisi perut selama jendela tertentu. Misalnya, dengan metode 16/8, orang tersebut berpuasa selama 16 jam dan kemudian dapat makan dalam rentang waktu delapan jam antara pukul 10.00 hingga pukul 18.00 WIB.

Para peneliti yang terlibat dalam studi baru mencermati sampel dari hampir 300 mahasiswa sarjana. Di antara peserta, 23,5 persen saat ini berpartisi dalam puasa intermiten, 16 persen pernah mencoba puasa intermiten, dan 61 persen tidak pernah puasa intermiten sebelumnya.

Mereka yang pernah puasa intermiten pada masa lalu tampak lebih mungkin untuk terlibat dalam binge eating daripada mereka yang tidak pernah berpuasa intermiten. Schueler mengatakan, apa pun yang memaksa tubuh ke dalam pola makan yang tidak normal memiliki potensi untuk gangguan makan.

"Salah satu penjelasannya adalah mereka yang secara aktif terlibat dalam puasa intermiten mungkin masih bisa 'berhasil' terlibat dalam kekakuan dan pengendalian diri seputar perilaku makan mereka," katanya.

Namun, menurut Schueler, mengalami rebound effect setelah pembatasan kalori yang parah, di mana makan berlebihan terjadi, memang hal lazim. Temuan timnya menunjukkan bahwa meskipun puasa intermiten tampaknya menjadi faktor risiko untuk makan berlebihan saat seorang secara aktif terlibat dalam diet, itu mungkin memiliki efek yang bertahan lama pada hubungan seseorang dengan makanan.

Baca juga : Kuku Kaki Berubah Warna Jadi Kuning, Biru, atau Hitam, Gejala Penyakit Apa?

Dilansir RxList, rebound effect adalah produksi gejala negatif yang meningkat ketika efek terapi telah berlalu atau pasien tidak lagi merespons suatu terapi. Studi ini juga menemukan bahwa puasa intermiten cenderung tidak menyesuaikan dengan rasa lapar internal dan isyarat kenyang.

Puasa intermiten cenderung memberi pelakunya lebih sedikit izin untuk makan. Dengan kata lain, menurut Schueler, puasa intermiten jauh dari pemakan intuitif.

"Daripada mengandalkan persepsi bawaan tubuh mereka, asupan mereka ditentukan oleh aturan eksternal," kata Schueler.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement