Kamis 26 Jan 2023 22:50 WIB

Yang Terjadi pada Otak Jika Sering Menyantap Makanan Tinggi Lemak

Sekitar 10–14 hari mengonsumsi makanan tinggi lemak, astrosit tampak gagal bereaksi.

Rep: Santi Sopia/ Red: Qommarria Rostanti
Makanan tinggi lemak, Ini yang terjadi pada otak jika sering mengonsumsi makanan berlemak. (Ilustrasi)
Makanan tinggi lemak, Ini yang terjadi pada otak jika sering mengonsumsi makanan berlemak. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Makanan berlemak mungkin rasanya cukup lezat. Meski begitu, ada alasan untuk menghindarinya. Menurut penelitian terbaru, diet tinggi lemak menyebabkan lebih banyak asupan makanan dan penambahan berat badan.

Ilmuwan dari Penn State College of Medicine melaporkan dalam studi mereka yang diterbitkan dalam The Journal of Physiology pada pekan ini, bahwa diet tinggi lemak dapat mengurangi kemampuan otak untuk mengatur asupan makanan. Asupan kalori diatur oleh sel berbentuk bintang di otak yang disebut astrosit. Sel-sel mengontrol jalur pensinyalan antara otak dan usus. Namun menurut para peneliti, diet tinggi lemak mengganggu mekanisme tersebut.

Baca Juga

Setelah melakukan percobaan pada tikus, tim menemukan bahwa paparan diet tinggi lemak yang berkepanjangan dapat menyebabkan hyperphagia (peningkatan nafsu makan yang tidak normal), asupan kalori berlebih, dan penambahan berat badan.

Asupan kalori diatur dalam jangka pendek oleh astrosit. Peneliti menemukan bahwa dalam paparan singkat, sekitar tiga hingga lima hari, diet tinggi lemak atau kalori memiliki efek terbesar pada astrosit.

“Itu memicu jalur sinyal normal untuk mengontrol perut,” kata dr Kirsteen Browning dalam rilis berita, dikutip dari Medical Daily Kamis (26/1/2023).

Dia melanjutkan, seiring waktu, astrosit tampaknya menjadi peka terhadap makanan tinggi lemak. Sekitar 10–14 hari mengonsumsi makanan tinggi lemak atau kalori, astrosit tampak gagal bereaksi. Kemampuan otak untuk mengatur asupan kalori pun menjadi hilang. Ini mengganggu pensinyalan ke perut dan menunda pengosongan.

Penelitian ini dilakukan pada tikus. Studi manusia pertama-tama harus dilakukan untuk memverifikasi apakah mekanisme yang sama, juga ada pada manusia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement