Senin 09 Jan 2023 17:15 WIB

Karyawan Takut Mengakui Masalah Kesehatan Mental di Tempat Kerja, Ini Alasannya

Ada alasan karyawan enggan membicarakan masalah apa pun, termasuk kesehatan mental.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Reiny Dwinanda
Karyawan depresi (Ilustrasi). ak cuma anak muda, hampir semua kelompok usia enggan mengutarakan masalah kesehatan mental atau meminta dukungan perusahaan.
Foto: Pixabay
Karyawan depresi (Ilustrasi). ak cuma anak muda, hampir semua kelompok usia enggan mengutarakan masalah kesehatan mental atau meminta dukungan perusahaan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian karyawan di Inggris dan Amerika Serikat ditengarai mengidap depresi atau kecemasan, namun hanya sedikit yang mengakuinya kepada perusahaan tempat mereka bekerja. Bahkan, karyawan tetap enggan mengakui ketika mengambil cuti untuk mengatasi kondisinya.

Hal itu terungkap dalam penelitian yang digagas oleh pengembang aplikasi kesehatan mental kecerdasan buatan, Wysa. Berdasarkan studi itu, sekitar 35 persen pekerja yang berusia 16 hingga 65 tahun mengalami depresi sedang hingga berat atau gejala kecemasan yang parah.

Baca Juga

Hanya 13 persen responden yang mengatakan bahwa mereka akan merasa nyaman jika mengakui kepada pemberi kerja bahwa mereka butuh waktu istirahat untuk memulihkan kesehatan mental. Sebanyak 67 persen telah mengambil cuti karena kesehatan mental yang buruk, tapi berbohong kepada bos terkait alasannya.

 

Masalah yang ada dinilai sangat akut di kalangan anak muda, karena hampir setengah responden mengidap kecemasan sedang atau berat (44 persen) serta depresi (46 persen). Tak cuma anak muda, hampir semua kelompok usia enggan mengutarakan masalah kesehatan mental atau meminta dukungan organisasi.

Mayoritas responden (81 persen) lebih memilih untuk berkonsultasi dengan aplikasi daripada berbicara dengan tim SDM di perusahaan, tentang masalah kesehatan mental. Direktur pelaksana Wysa di Britania Raya, Ross O'Brien, menyeru kepada perusahaan agar memberikan dukungan kesehatan mental yang memadai kepada karyawan.

"Terlepas dari kenyataan bahwa orang-orang jelas mengalami kesusahan dan kadang-kadang menghadapi gejala kecemasan dan depresi yang parah, mereka enggan untuk berbicara," ucap O'Brien, seperti dikutip dari laman HR Magazine, Senin (9/1/2023).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement