REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyakit yang dialami manusia sebagian berasal dari bakteri yang merupakan biotik tak baik. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, bakteri-bakteri tersebut akan mengalami resisten antibiotik yang pada akhirnya menjadi ancaman kesehatan dalam beberapa dekade mendatang.
Ketika bakteri yang terus berkembang mengembangkan resistensi terhadap obat-obatan yang diminum, infeksi yang sebelumnya dapat diobati jutru menjadi berbahaya. Bahkan, kondisi ini diprediksi dapat menyebabkan 10 juta kematian per tahun pada 2050.
Sebelumnya, para ilmuwan mencari obat baru dari berbagai jenis makanan, antara lain teh hijau, bunga tembakau, ASI, bisa ular, kulit katak, jamur, bahkan susu platipus. Namun, para peneliti di University of Pennsylvania justru menemukan hal yang mengejutkan, yakni antibiotik baru yang mungkin sudah ada di dalam tubuh selama ini.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Biomedical Engineering ini menggunakan algoritma "pencarian" untuk menemukan lusinan peptida antimikroba potensial dalam tubuh manusia. Mereka mencari peptida antimikroba (AMP) baru dalam tubuh manusia. Seperti fungsi pencarian untuk menemukan kata atau frasa tertentu dalam dokumen, mereka menggunakan algoritme untuk menemukan peptida dengan sifat antimikroba dalam proteom manusia. Proteom merupakan perpustakaan lengkap protein yang diproduksi di dalam tubuh.
Tim memulai dengan memindai proteome untuk peptida dengan karakteristik umum untuk semua AMP, yaitu antara delapan dan 50 asam amino, muatan positif, dan mengandung potongan hidrofobik dan hidrofilik. Pencarian ini menghasilkan 2.603 hit. Hal yang menarik, jenis protein ini tidak memiliki hubungan dengan sistem kekebalan, dan para peneliti menyebutnya “peptida terenkripsi”.
Para peneliti kemudian memilih 55 peptida dan menguji efektivitasnya terhadap delapan bakteri patogen, termasuk E. coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Infeksi bakteri ini sering didapatkan di rumah sakit dan bisa berbahaya hingga sulit diobati.
“Kami menemukan bahwa 63,6 persen dari 55 peptida terenkripsi ini menunjukkan aktivitas antimikroba,” kata Peneliti Utama dari studi César de la Fuente, dilansir laman New Atlas, Senin (8/11).
Dia melanjutkan, menariknya, peptida ini tidak hanya melawan infeksi dari beberapa bakteri paling berbahaya di dunia. Peptida ini juga menargetkan organisme komensal usus dan kulit yang bermanfaat bagi manusia.
“Kami berspekulasi bahwa ini bisa menjadi indikasi peran modulasi mikrobiota yang mungkin dimiliki peptida ini juga,” jelas dia.
AMP bekerja lebih baik ketika dikelompokkan bersama dengan yang lain dari wilayah tubuh yang sama, dan kekuatan antimikrobanya meningkat 100 kali lipat. Dalam tes pada tikus, tim menemukan AMP baru bekerja sebaik antibiotik yang ada, tanpa menyebabkan tanda-tanda toksisitas yang terlihat.
Serangkaian tes berikutnya memeriksa terkait peptida terenkripsi ini akan mempengaruhi bakteri untuk mengembangkan resistensi lebih lanjut. Hasilnya, juga terlihat menjajikan.
“Apa yang kami temukan adalah bahwa molekul terenkripsi ini menyerang bakteri dengan menembus membran luarnya, organel integral untuk bertahan hidup,” kata De la Fuente.
Dia mengatakan, perembesan membran yang lebih merusak ini akan membutuhkan sejumlah besar energi dan beberapa generasi mutasi untuk menciptakan resistensi pada bakteri. Ini menunjukkan bahwa peptida yang baru ditemukan ini adalah kandidat yang baik untuk antibiotik berkelanjutan.
Para peneliti mengatakan penelitian ini tidak hanya dapat mengarah pada antibiotik alami baru untuk memerangi meningkatnya ancaman superbug. Namun, teknik yang digunakan untuk menemukannya juga dapat membantu mengungkap molekul terapeutik tersembunyi untuk penyakit dan penyakit lain.