REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Saat ini, masih banyak persepsi yang keliru di masyarakat tentang antibiotik yang dianggap sebagai obat manjur untuk demam, flu, sakit kepala, hingga persendian. Banyaknya penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter menjadi salah satu penyumbang terbesar angka resistensi antimikroba.
Di sisi lain, fasilitas dan tenaga kesehatan juga menjadi sumber terjadinya resistensi antimikroba di dunia kesehatan. Obat antimikroba mencakup antibiotik (obat untuk membunuh bakteri), antivirus, antiparasit, dan antijamur.
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI Periode 2014-2021 Dr dr Harry Parathon Sp.OG(K) mengatakan antibiotik itu ibarat anak panah. Jadi, pastikan pemberian antibiotik hanya bagi pasien yang terinfeksi bukan diduga terkena bakteri.
"Kalau masih diduga, tidak perlu antibiotik. Flu, diare, luka pascamelahirkan normal walaupun dengan jahitan nggak perlu antibiotik, akan sembuh sendiri," kata Harry dalam webinar bertajuk #TUNTASBERITUNTASPAKAI, dikutip Sabut (6/11).
Tingginya permintaan dan atau pemberian antibiotik dianggap sebagai cara lebih murah mendapatkan pengobatan. Padahal, pemeriksaan mikrobiotik justru akan menghemat biaya pengobatan.
Pemeriksaan menghindari terjadinya komplikasi bakteri yang bisa meniadi resisten atau menyebar kemana-mana, menjadi infeksi. Jika sudah begitu, maka beban rumah sakit atau BPJS juga akan semakin besar.